Iseng-iseng mencari tahu sikap warga tentang debat Capres 01 Joko Widodo (Jokowi) dan Capres 02 Prabowo Subianto, yang disiarkan secara langsung dari Hotel Sangrilla, Jakarta, Sabtu malam, penulis mengajak bicara sopir angkot, padangan pasar, tukang ojek hingga tukang parkir.
Sempat mendatangi pasar tradisional, ngobrol dengan tukang parkir, pedagang, para pengojek. Tentu saja untuk mendapatkan informasi, ya sedikit berkorban. Membawa rokok sebungkus. Padahal penulis sendiri tak merokok.
Itu hanya siasat saja, sih. Menyodorkan rokok sebatang kepada lawan bicara tentu saja dibolehkan. Ini kan bukan penelitian. Hanya mencari sekelimut informasi.
Nah, mumpung tayangan debat capres masih melekat kuat dalam ingatan mereka, maka penulis mencari tempat warga kumpul di pangkalan ojek, tukang parkir di Pasar Kramat Jati.
Tidak ketinggalan para sopir angkot diajak ngobrol sambil bercanda. Tentu saja penulis harus numpang, berputar-putar dari angkot satu ke angkot lain mengeluarkan uang Rp 5000 sekali jalan. Dengan cara seperti itu diharapkan tak timbul kesan bahwa mereka tengah dimintai pendapatnya, seputar debat tersebut.
Namun dari dua pasangan yang berdebat itu, nyatanya sosok Prabowo mendapat perhatian dengan berbagai alasan. Untuk Jokowi, mereka secara umum memandang sudah berada di atas angin. Posisinya mantap, tidak tergoyah.
Kesan yang ditangkap, selain tampil dengan gaya sederhana juga bicaranya jelas dan mudah dipahami kalangan warga akar rumput. Jokowi tampil jauh dari kesan bicara "meledak-ledak". Ia kalem.
Beda lagi dengan Rojak, tukang parkir di kawasan Kramat Jati. Ia awalnya menduga Jokowi bakal kalah pada debat semalam. Sebab, Prabowo bicaranya berapi-api. Ternyata, dia kebablasan menjadi emosional ketika disebut oleh Jokowi bahwa Prabowo tidak percaya akan kemampuan TNI.
Setelah itu, bicara Prabowo terkesan tidak fokus dan mengabaikan topik debat yang membahas topik ideologi, pemerintahan, keamanan, serta hubungan internasional.
Tapi, ia tetap beken?