Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Bagi Jokowi, Jangan Jadikan Momok Survei Munafik

13 Maret 2019   07:36 Diperbarui: 13 Maret 2019   08:57 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi mengenakan pakaian adat Aceh. Foto | dokpri

Masih adakah survei munafik?

Jawabnya, bisa iya dan tidak. Dijawab iya karena masih ada pihak menyebut melakukan survei untuk kebutuhan internalnya tanpa bisa membuktikan besaran angka yang diperoleh. Alasannya, untuk urusan internal. Tapi bisa pula dijawab tidak, lantaran pelaksanaan survei sangat mengindahkan metode akademik dan pengambilan sampel dapat dipertanggungjawabkan.

Disebut masih ada survei munafik lantaran berdasarkan fakta pernah terjadi. Itu disebabkan ketika dilakukan jejak pendapat, si petanggap (yang ditanyai) tidak memberikan jawaban yang jujur. Ketidakjujuran terjadi pada petanggap ketika diwawancarai. Parahnya, hal itu dilakukan elite politik partai bersangkutan yang melakukan survei.

Ujungnya, bermuara kepada kemunafikan. Jika kita ikut terminologi Islam, munafik itu sendiri artinya berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, namun sebenarnya hati mereka memungkirinya.

Penulis yakin jika survei dilakukan dengan mengindahkan metodologi yang baik, tentu tidak perlu menyembunyikan hasil survei yang dilakukan kubu 02, Prabowo - Sandiaga S Uno, apakah untuk kebutuhan internal atau menggiring opini publik menjadi sebuah dukungan.

Eloknya, hasil survei dibuka, transparan lantaran dipersiapkan dan dilakukan dengan kajian akademik. Baiknya lagi survei ditangani oleh lembaga independen sehingga memberi keyakinan kesan netral dan jujur.

"Hasil survei kami, justru saat ini sudah crossing, Prabowo-Sandi sudah di angka 54 persenan sedang Jokowi 40-an," ujar Koordinator juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Dahnil Anzar Simanjuntak saat dihubungi, Senin (11/3/2019).

Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah menyakini bahwa pasangan Prabowo-Sandiaga dapat meraih suara di atas 60 persen pada saat pencoblosan. Sayangnya, tidak disebutkan secara spesifik mengenai hasil survei internal tersebut, misalnya mengenai jumlah responden dan kapan survei internal itu dilakukan. Tidak disebut pula basis kemenangan pasangan Prabowo-Sandiaga.

Sementara itu  LSI Denny JA menyebut, Rabu (6/3/2019), hasil survei menunjukkan elektabilitas Jokowi-Maruf Amin sebesar 58,7 persen. Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 30,9 persen, suara tidak sah 0,5 persen, dan belum menentukan pilihan 9,9 persen.

Survei Denny JA digelar pada 18-25 Februari 2019. Sebanyak 1.200 responden dilibatkan menggunakan metode surat suara. Metode pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara tatap muka. Margin of error survei ini sebesar 2,9 persen.

Sedangkan Survei Cyrus Network mengungkap bahwa hasil survei bahwa dukungan untuk Jokowi-Ma'ruf sebesar 55,2 persen sementara Prabowo-Sandiaga sebesar 36 persen.

Survei Populi menggambarkan bahwa elektabilitas Jokowi-Ma'ruf ada pada angka 54,1 persen sedangkan Prabowo-Sandiaga 31,0 persen.

**

Dari prespektif historis, survei atau pun jejak pendapat munafik itu pernah terjadi. Rekan penulis Boyke Sukapdjo pernah bertutur,  Walikota Los Angeles, Tom Bradley. Ia adalah seorang Afrika-Amerika maju dalam pemilihan gubernur California pada 1982.

Jajak pendapat menunjukkan Bradley unggul dengan selisih poin besar. Partai Demokrat  saat itu meyakini bahwa jagonya akan menang. Tetapi, keyakinan Bradley dan hasil jajak pendapat ternyata keliru. Dia kalah atas calon Partai Republik, George Deukmejian.

Padahal, Bradley pada jajak pendapat selalu diunggulkan. Namun, kenyatanya, yang bersangkutan "keok" alias kalah. Mengapa? Penyebabnya, petanggap (yang ditanya) dalam jajak pendapat itu selalu memberi jawaban mendukung Bradley.

Mengapa warga yang dijadikan petanggap memberi jawaban demikian. Setelah dilakukan penelitian, alasan yang paling dapat diterima akal  karena mereka kira-kira nggak mau atau takut dibilang rasis atau anti-hitam.

Kemudian, di kotak suara, mereka dalam pemungutan suara, menunjukkan keasliannya. Suara hatinya.

"Bradley Effect" itu aromanya juga terjadi pada pemilihan Gubernur Jakarta pada 2017. Hingga mendekati hari pencoblosan, Ahok (Basuki Tjahaja Purbanama) selalu unggul dari Anies Baswedan dalam survei.

Baru pada jajak pendapat Kompas tiga hari menjelang pemungutan suara Anies dinyatakan menang, tapi entah kenapa survei itu nggak diumumkan. Boleh jadi, lantaran Ahok saat itu tengah gencar-gencarnya diserang dengan isu penistaan agama menyusul pertanyaannya di Ancol.

Untuk saat ini, bisa saja itu berlaku. Yang disurvei bilang dukung J karena takut atau nggak mau dibilang radikal, garis keras, anti-Pancasila dan anti-kebinekaan. Mereka baru menunjukkan diri di bilik suara.

Perkiraan jajak pendapat ternyata keliru karena sejumlah responden menipu. Masyarakat AS disebut-sebut sebagai warga munafik. Para responden itu memilih Bradley meskipun mereka tidak memilih Bradely pada hari pelaksanaan pemilihan.

Singkatnya, "Gejala Bradley" adalah ketidaksesuaian jajak pendapat dengan hasil pemilihan.

**

Namun bagi Joko Widodo, survei memang harus diperhatikan. Apakah kini dirinya berada pada posisi di atas angin atau tengah berada di bawah roda kereta kencana. Namun jangan dijadikan momok, terutama survei munafik.

Terpenting, ia harus fokus memenangkan pertarungan Pilpres 2019 yang memasuki tahapan "terpanas". Sebab, dengan gambaran hasil survei yang independen, secara psikologis mendorong kubu 02 mengerahkan seluruh "amunisi" yang dimiliki. Haram dan halal dalam pandangan Islam bisa jadi dikaburkan menjadi barang abu-abu. Akal sehat lenyap.

Sungguh tepat pernyataan Jusuf Kalla, Ketua Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo - Ma'ruf Amin, bahwa apapun hasil survei seharusnya tak mempengaruhi upaya kampanye yang dilakukan oleh TKN.

Meski malaikat sekalipun, seperti dikatakan Ketua Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandiaga, Amien Rais, diseretnya berdoa dan memberikan laporan kepada Allah SWT agar Jokowi bisa kalah di Pilpres 2019 mendatang.

"Tiap malam (malaikat) lapor kepada Allah," kata Amien.

"Ya Allah, Indonesia itu punya potensi bagus, tapi pimpinannya ugal-ugalan. Tolong ya Allah, kalahkan, tentukan kalah," kata Amien seperti meniru ucapan malaikat berdoa.

Bagi Jokowi, sambung JK, sekarang ini adalah kerja keras.  Jangan karena survei baik, orang berhenti bekerja, survei jelek orang menangis, jangan. Pokoknya anggap saja semua fifty-fifty, supaya ada kerja keras.

Sumber bacaan satu dan dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun