Nabi Muhammad saw pun sempat membacakan doa:Â
 "Ya Allah, jika pasukan Islam yang berjumlah sedikit ini musnah, niscaya tidak ada lagi orang yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini." (HR. Muslim).
Doa Neno Warisman:
...Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan. Kami khawatir ya Allah. Kami khawatir ya Allah tak ada lagi yang menyembah-Mu..."
**
Pimpinan kafilah Abu Sofyan, musuh umat Islam dan tokoh Mekkah itu, ketika dalam perjalanan pulang dari Suriah ke Mekkah mendapat informasi bahwa pihaknya akan disergap pasukan Muslim dibawah pimpinan Nabi Muhammad saw.
Lalu ia mengirim utusan untuk meminta bantuan ke penduduk Mekkah. Bagi Abu Sofyan, penyergapan itu akan mematikan jalur perdagangan Suriah - Mekkah. Â Karena itu jalur perdagangan harus dipertahankan.
Pertempuran tak dapat dihindari antara orang Mekkah dan Madinah, yang kebanyakan kaum muhajirin (imigran) dan Anshar (penolong), terjadi di Badar, 144,5 km sebelah barat daya Madinah, pada Ramadan 624 M.
Umat Islam berjumlah 300 orang. Namun, dengan kepemimpinan Nabi Muhammad saw, berhasil mengalahkan seribu orang Mekkah. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Perang Badar. Dari sudut pandang militer, perang ini dan berikutnya menjadi landasan kekuatan kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Demikian sepenggal kisah Rasulullah, Nabi Muhammad saw perihal Perang Badar yang ditulis Philip K Hitti, seorang guru besar di Colombia dan Princeton. Philip lahir di London pada 1886. Sejak 1913 hingga wafat pada 1978 hidupnya diabdikan untuk mengajar dan pensiun pada 1954.
Philip K Hitti dalam buku History of The Arabs setebal 980 halaman tidak mengupas lebih jauh para tokoh Mekkah yang memusuhi Nabi Muhammad saw. Kendati begitu ia mampu mengangkat dampak dari Perang Badar demikian luas.
Lantas, apa kata M. Quraish Shihab tentang Perang Badar itu?
Dalam buku Membaca Sirah Nabi Muhammad saw - dalam sorotan Alquran dan Hadits-Hadits Shahih - disebut, empat belas orang dari pasukan kaum Muslimin gugur sebagai syuhada, enam di antaranya Muhajir dan sisanya - delapan orang - dari kelompok Anshar.
Yang gugur sebagai syahid dikubur oleh Nabi Muhammad saw, di Badar, tanpa dimandikan dan dishalatkan: darah mereka menjadi saksi kebenaran dan kesucian mereka.
Pasukan musrikin yang tewas dalam pertempuran Badar sebanyak tujuh puluh orang, sedangkan tertawan sebanyak itu juga.
Pada perang ini, salah satunya yang tewas adalah Abu Jahal.
Musuh berat Nabi Muhammad saw ini - disebut oleh Ibnu Ishaq - ketika Ibnu Mas'ud hendak memenggal kepalanya, Abu Jahal dengan angkuh berkata; "Engkau telah memanjat satu tempat yang tinggi lagi sulit, wahai pengembala kecil.
Ibnu Mas'ud menginjak leher Abu Jahal sambil menyampaikan tentang kekalahan total kaum musyrikin. Lantas, kepalanya dipenggal dan menyeret kepala Abu Jahal menuju Rasulullah saw. Peristiwa ini mengingatkan firman Allah, yang artinya: Hati-hatilah! Apabila dia tidak berhenti mengganggu Nabi Muhammad SAW, maka pasti Kami akan seret ubun-ubunnya (QS, al-Alaq [96): 15-19).
Kala sampai di hadapan Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: "Inilah Firaun umat ini".
**
Menariknya, sekalipun yang tewas musuh Allah dan Rasul-Nya, dari sisi kemanusian tetap diperlakukan secara terhormat. Nabi Muhammad saw memerintahkan mengubur mereka di sebuah sumur tua. Setelah dikubur, Nabi Muhammad saw menyebut beberapa nama yang tewas. Lalu "menanyakan" kepada mereka: "Apakah kalian telah memperoleh apa yang dijanjikan Tuhan kalian dengan hak?
Nabi Muhammad saw menjawab: "Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalian tidak lebih mendengar apa yang saya sampaikan daripada mereka, hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya. (HR. Ahmad).
Kita meyakini, siapa pun yang meninggal dunia wujudnya tetap ada. Mereka berada di satu alam yang disebut "Alam Barzakh. Menariknya, kunjungan Nabi Muhammad saw ke arena perang untuk melihat yang meninggal dikecam orientalis sebagai menunjukan bahwa Nabi Muhammad saw adalah orang yang haus darah dan itu bertentangan dengan ketentuan dalam peperangan.
Padahal, tidak demikian. Abbas al Aqqad dalam buku Abqariyyat Muhammad menjelaskan panjang lebar. Intinya bahwa yang berlaku adalah terhadap anggota pasukan yang tidak dikenal dan tidak memiliki kejahatan kemanusiaan. Sedangkan yang dikunjungi Nabi Muhammad saw untuk melihat dan memerintahkan untuk dikuburkan. Mereka adalah tokoh kejahatan kemanusiaan, bukan pasukan biasa.
Nabi Muhammad saw ketika melihat mereka tidak memperlihatkan kegembiraan sesuai dengan keprihatinan yang terjadi sebelum berkecamuknya peperangan. Demikian juga memperlakukan tawanan perang hingga pembagian harta rampasan.
**
Hal lain, turunnya malaikat membantu pasukan muslim dalam peperangan. Dan, masih banyak lagi yang menyebabkan perang berakhir dengan kemenangan pasukan muslim saat itu.
Jadi, dari uraian tersebut, sungguh tepat jika Perang Badar adalah pertempuran atas kehendak Allah untuk menunjukan eksistensi umat Islam di kalangan kaum Arab dan dunia. Turut sertanya tangan Allah menjadi bukti sekaligus penguat iman.
Nabi Muhammad saw pun sempat membacakan doa: "Ya Allah, jika pasukan Islam yang berjumlah sedikit ini musnah, niscaya tidak ada lagi orang yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini." (HR. Muslim).
Tentu tidak tepat doa, puisi dan apapun namanya yang disampaikan Neno Warisman dalam acara malam Munajat 212, Kamis lalu, yang sebagian isinya meminta kemenangan dalam Pilpres 2019.
...Jangan, jangan Engkau tinggalkan kami dan menangkan kami. Karena jika Engkau tidak menangkan. Kami khawatir ya Allah. Kami khawatir ya Allah tak ada lagi yang menyembah-Mu..."
Dalam Islam, ada doa mustajab. Maksudnya, doa yang dijawab dan dikabul Allah, baik diwujudkan di dunia maupun di akhirat. Dan, dalam banyak hadits, dijelaskan adanya waktu dan tempat yang disukai Allah untuk berdoa kepada-Nya, sehingga doanya itu -- insya Allah lebih berpeluang untuk dikabul Allah.
Jadi, doa itu ada waktunya seperti waktu antara adzan dan iqomat, setelah shalat, di waktu malam hari, sepertiga malam hari, di hari Jumat, ketika minum air zamzam dan masih banyak lainnya dan disampaikan secara khusyuk, diaminkan bersama-sama.
Tentu saja dalam konteks doa yang disampaikan Neno tadi berbeda dengan zaman Rasulullah saw ketika Perang Badar. Apa lagi di negeri yang memiliki falsafah Pancasila dan menghormati agama-agama yang ada.
Doa yang disampaikan Neno menggambarkan seolah orang lain tak pernah memanjatkan doa. Berdoa kepada Allah seolah hanya dilakukan koalisi 02, Prabowo-Sandiaga S Uno. Berdoa jadi monopoli kelompoknya.
Kalau sudah begitu, peran para santri/santriwati di pondok pesantren itu dikemanakan? Justru mereka, atas dukungan ulama dan para kiai, habaib, para santri setiap hari memanjatkan doa usai shalat lima waktu. Lagi pula, bukankah kubu 01 Jokowi-Ma'ruf Amin juga pemeluk Islam? Ini pesta demokrasi, Pilpres, dan bukan Perang Badar.
Sejatinya, apakah di dunia ini ada orang berdoa atau tidak, Allah tak merasa rugi. Yang merugi ya manusia itu sendiri. Maka, berdoalah kepada Allah niscaya akan dikabulkan. Tapi, sungguh aneh, jika Neno berdoa dengan memaksa Allah dengan alasan jika kalah akan tidak ada lagi orang menyembah kepada-Nya.
Patut dipertanyakan, siapa diri kita ini? Kok bisa tahu sudah tidak ada lagi orang Indonesia berdoa apabila kelompoknya menderita kalah. Penulis hanya ingin mendudukan persoalan tentang Perang Badar dan Doa. Tidak ada kepentingan soal dukung mendukung dalam Pilpres 2019 ini.
Ingat, doa bukan untuk lelucon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H