Sangguh tepat para pendiri negeri ini meletakan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara. Dengan begitu, rakyat negeri ini mengenal perbedaan satu sama lain dan saling menghormati masing-masing pemeluk agama-agama yang ada. Sayangnya, belum  semua warganya mengenal rumah ibadah yang ada dan bertebaran di berbagai pelosok.
Umat Islam dengan penganutnya terbesar di Tanah Air pasti tahu rumah ibadahnya adalah masjid, mushola atau langgar. Tapi belum tentu pemeluk agama lain tahu rumah ibadah agama Buddha, Hindu, Kristen dan Konghucu. Pemeluk Kristen belum tentu tahu rumah ibadah Konghucu, demikian pula sebaliknya. Penganut Hindu belum tentu tahu rumah ibadah Tao, juga sebaliknya. Mengapa? Karena dianggap hal itu tidak terlalu penting, namun menjadi penting ketika kerukunan dirusak oleh tangan kotor.
Patut ditanya pula, berapa jumlah penganut agama-agama di Tanah Air. Hingga kini tak ada data dan mampu memberi jawaban. Kalaupun Badan Pusat Statistik (BPS) punya data, dapat dipastikan tidak akurat. Eh, berani amat sih penulis begitu?
Justru di sini kubu 02 harus mencari. Prabowo ditantang. Bila hal itu dapat diperoleh, maka boleh jadi hal itu merupakan "amunisi" untuk menjatuhkan pihak lawan.Â
Mumpung mendekati perayaan Cap Go Meh, patut kita pertanyakan, berapa sih pemeluk Konghucu di Tanah Air? Â
Saat memasuki tahun baru China, Imlek, umat banyak mendatangi rumah ibadah Kelenteng. Pertanyaannya, apakah yang datang itu semua pemeluk Khonghucu? Â Tentu, tidak. Dalam berbagai literatur dan masih diyakini bahwa kelenteng adalah tempat beribadah bagi umat Khonghucu atau Tionghoa perantauan.Â
Di dalam Klenteng ini terdapat berbagai macam rupang/patung dewa-dewi, di antaranya rupang aliran Buddha Mahayana, rupang aliran Taois, rupang aliran Konfusianis. Pada awalnya, dewa-dewi itu dihormati oleh penganut marganya masing-masing.
Mengapa ada aliran Buddha, Tao dan konfusius. Nah, untuk menjawab ini tentu ceritanya agak panjang. Singkat cerita, agama-agama ini pada masa pemerintahan Orde Baru seolah dipaksa menyatu dan beribadah di Kelenteng. Padahal, jauh sebelum itu, punya rumah ibadah masing-masing seperti Khonghucu dengan rumah ibadah Litang.
Di Singkawang, Kalimantan Barat (Kalbar), kampung halaman rekan-rekan penulis, banyak umat Khonghucu dan mempraktikan ajarannya dengan baik, ternyata di kolom KTP miliknya banyak tercatat menganut agama Buddha. Untuk mengubah, mereka merasa enggan. Mengapa?
Pertama, karena mereka ingin menjaga toleransi dengan agama Buddha setempat. Terpenting substansi ibadahnya, bukan tercatat di KTP. Padahal ini penting ketika pihak otoritas dalam memberi layanan keumatan.
Kedua, bisa jadi, karena masih trauma pada lembaran kelam bahwa penganut Khonghucu adalah keturunan China dan disisihkan dalam pergaulan. Lebih lagi rejim Orde Baru saat itu melarang perayaan Cap Go Meh, hingga mereka melakukan ritualnya secara sederhana.