Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

"Sikat" Mafia Bola Tidak Cukup dengan Gertakan

21 Februari 2019   11:51 Diperbarui: 21 Februari 2019   16:11 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, mafia bola. Foto: eurosports.com

Sepanjang sejarah melawan mafia sepakbola, baru sekali ini nampak gregetnya bila dibandingkan beberapa tahun silam. Maaf, saya menggunakan kata sejarah mafia sepakbola atau bola lantaran peristiwanya bukan sekali ini.

Suap dan pengaturan skor hasil pertandingan sepakbola sudah sering terjadi di Tanah Air.

Sepakbola pernah dijadikan ajang resmi perjudian legal. Ingat zaman forecast. Saati itu atur skor pertandingan marak. Hanya saja, sorotan media saat itu tidak terlalu gencar.Pers dalam posisi di bawah kekuasan otoritar. Salah sedikit, dibredel penguasa. Warga atau rakyat akar rumput tengah dinina-bobokan dengan judi. Rakyat dibuat hidup dalam alam utopia.

Peristiwa atur skor pertandingan dan suap di sepakbola di negeri kita bisa diumpamakan seperti pemain bola yang tengah terserang influenza dan dipaksa turun ke lapangan. Pemain tengah sakit dipaksa merumput jelas dilakukan setengah hati. Pemain bertanding diiringi ingus meler di hidung, ditarik dengan nafas dan keluar lagi.

Artinya, musim atur skor dan suap dimainkan bagai tarik ulur ingus. Mafia bola bermain seperti itu. Di saat sorotan media massa berkurang, si mafia tampil. Kala awak media tak mengulas pertandingan dan teknis dan non teknis, nah di situlah mafia bola beroperasi lagi.

Jadi, jika ada suara berhembus dengan nada minor, mafia bola mengambil sikap tiarap. Tapi, bila tiba-tiba berita mengemuka ada tudingan suap, maka para mafia sepakbola cepat-cepat mengambil sikap berlindung. Lantas, para mafia mengeluarkan pernyataan jangan asal tuduh bila tak ada faktanya. Lalu disusul dengan kata ancaman, melaporkan orang yang mencurigainya ke polisi hingga tindakan kekerasan fisik. Maling teriak maling, gitu.

Suap dan hadirnya mafia sepakbola sejatinya bukan barang baru bagi organisasi sepakbola tertua di negeri ini. Jelas saja mafia sepakbola tidak sejalan dengan niat awal berdirinya Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia atau PSSI yang didirikan Ir. Soeratin Sosrosoegondo pada 19 April 1930 di Yogyakarta.

PSSI hadir dimaksudkan untuk menguatkan nasionalisme dalam bingkai NKRI. Indonesia diharapkan dapat ambil bagian di setiap berbagai perhelatan sepakbola akbar melalui pamainnya yang kesohor pada zaman perjuangan. Mengapa demikian, karena sepakbola adalah olahraga yang paling digemari di planet bumi ini.

Lantas, ada pertanyaan yang selalu menggoda. Yaitu, mengapa sejak organisasi sepakbola hingga kini prestasi Indonesia tidak menggembirakan?

Prestasi kita memang pernah gemilang saat Olimpiade musim panas ke-16 diadakan pada 1956 di Melbourne, Australia. Di acara perhelatan olahraga akbar itu, tim sepakbila Indonesia menahan imbang Uni Soviet 0-0. Prestasi itu memang membanggakan, dan kini jadi cerita rakyat melegenda.

Lantas, ingatan kita dibawa kepada pemain beken seperti Maulwi Saelan (PSM Makassar), Paidjo (Persema), Chairuddin Siregar (Persija]), Mohamed Rashjid (PSMS Medan), M. Sidhi (Persebaya), Ramlan Yatim (PSMS), Kwee Kiat Sek (Persija), Tan Liong Houw (Persija), Rukma Sudjana (Persib), Kasmoeri, Thio Him Tjiang (Persija), Rusli Ramang (PSM), Ramli Yatim (PSMS), Mohammad Djamiaat Dhalhar (Persija), Ashari Danu (PSIS), Ade Dana (Persiob), Aang Witarsa (Persib) dan kapten tim, Achmad Arifin (PSP Padang), Phwa Sian Liong (Persebaya), dan Jasrin Jusron (PSIS).

Setelah tim nasional terus melorot. Jadi peringkat empat di Asian Games Seoul saja sudah bagus. Selanjutnya, di tahun berikutnya, terjun bebas yang disambut publik dengan perasaan memelas.

Kini, sangat wajar, di tahun politik banyak politisi menyebut dan mengakui Indonesia itu adalah negara besar, potensi alam dan sumber daya manusia yang dimiliki sangat luar biasa. Kita harusnya berada di berisan terdepan dan .... demikian kalimatnya yang indah di telinga.

Tapi, mengapa mencari sebelas pemain sepakbola yang berkualitas demikian sulit? Katanya, mencari pemain terbaik harus melalui kompetisi berjenjang. Rutin dilakukan dengan didukung pemandu bakat profesional. Mencari pemain terbaik harus melalui pendidikan (Diklat sepakbola), dan dukungan dana memadai.

Bertahun-tahun semua itu ditempuh. Pengurus satu berakhir, lantas berkelanjutan dengan program tak jauh berbeda. Pengurus berikutnya hadir, tapi lebih disibukkan urusan "prikitil"tapi tidak fokus kepada pemain. Tegasnya, pengurus fokus kepada urusan fulus.

Lalu, patut dijawab, adakah tim solid dan kuat yang mencerminkan sebagai pemain nasional lahir. Jawabnya, nihil. Kalaupun ada, jumlahnya tak lebih dari lima jari tangan.

Selain kepengurusan PSSI tidak paham teknis dan non teknis sepakbola, ada gelagat sejak awal menjadi pengurus semata diniatkan mencari fulus, sehingga apa pun caranya ditempuh untuk kepentingan pribadi. Karenanya, nasib dan kesejahteraan pemain hanya dapat perhatian kala menghadapi event besar atau dapat bonus kalau menang.

Karenanya, mafia sepakbola mudah mengintervensi pengurus. Ini lantaran mental pengurus sedari awalnya memang sudah bobrok.

Dan, awak media pun ikut dikibuli para pengatur skor karena jalannya pertandingan digambarkan sebagaimana adanya. Padahal dibalik itu, hasil pertandingan merupakan rekayasa. Nah, maka publik pun jadi membaca berita bohong, kan?

Penulis merasa bersyukur, hadirnya pihak kepolisian dengan membentuk tim anti mafia sepakbola akan membawa angin segar bagi sepakbola Indonesia. Pengurus PSSI yang terlibat dan beberapa pelaku lainnya sudah ditahan. Ini langkah maju.

Kalau zaman dulu, jarang pengurus yang terlibat ditahan. Yang ada, ya dimintai keterangan saja.

Apakah separuh atau seluruh pengurus PSSI perlu diberhentikan. Semua itu tergantung dari Pemerintahan Joko Widodo ke depan. Apakah Presiden menyetujui Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI, atau menanti hasil kerja tim anti mafia sepakbola ?

Terpenting, untuk saat ini, sikat mafia sepakbola.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun