Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Masihkah Pers Menjilat Penguasa?

10 Februari 2019   19:56 Diperbarui: 10 Februari 2019   20:23 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era keterbukaan, anggota dewan boleh mengeritik pemerintah. Demikian juga anggota masyarakat. Media massa pun dapat berbuat yang sama, mengeritisi pemerintah. Namun diharapkan tidak melukai. Sebab, fungsi media tidak melulu melaksanakan fungsi kontrol tetapi juga fungsi lainnya: mendidik, menghibur dan menyampaikan informasi.

Peran pers jika dikaitkan dengan sifat Nabi Muhammad SAW, diharapkan selalu menyampaikan (informasi) dengan benar (sidik), informasinya dapat dipercaya (amanah), menyampaikan informasi dengan tidak ada sesuatu yang disembunyian (tabligh), dan disampaikan dengan cerdas (fathonah).

Jadi, sungguh tidak tepat bahwa pers memberi penghargaan kepada presiden sebagai upaya menjilat penguasa. Pers disebut menjilat pada penguasa, sungguh ungkapan yang keterlaluan.

Ingat, jurnalisme dalam benuknya yang paling murni secara sederhana adalah menyatakan kebenaran, asalkan hal tersebut sesuai dengan kepentingan umum. Kami tidak berkonspirasi dengan orang luar. Kami tidak menulis untuk politisi atau partai-partai. Kami menulis untuk orang biasa.

**

Realitasnya, di era keterbukaan dewasa ini, pers tengah menghadapi tantangan besar sejalan dengan kemajuan teknologi informasi. Banyak media massa gulung tikar sebagai dari buah reformasi. Di sisi lain, kini banyak kemudahan mendirikan media online.

Dampaknya, Dewan Pers kini dibuat repot. Banyaknya pengaduan masyarakat terkait media ilegal. Bukan hanya mengakut pendirian media online "abal-abal" dan munculnya media cetak "siluman" lantaran alamatnya tak jelas, juga produknya mengacaukan jalannya kampanye Pilpres. Tabloit Indonesia Barokah, misalnya.

Belum lagi media online yang namanya mengusung instansi pemerintah, seperti KPK. Belakangan diketahui media bersangkutan bermaksud mencari mangsa "perasan" sehingga Kementerian Informasi dan Komunikasi menertibkannya. Orang sekarang, untuk mendirikan media online, sudah seenaknya.

Dampak dari kemudahan mendirikan media online dengan segala penyalah-gunaannya adalah kacaunya informasi yang diterima publik. Sejatinya, orang yang membaca pers (media) untuk memperoleh informasi. Bukan sekedar dan asal informasi, tetapi informasi yang membuat jelas duduknya perkara dan membuat makna kejadian dan masalahnya lebih terang pula (Jakob Oetama).

Bersamaan dengan era keterbukaan itu, kesejahteraan wartawan pun memprihatinkan. Banyak awak media masih menerima gaji masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR). Bicara kesejahteraan wartawan, sungguh keterlaluan karena masih ada perusahaan pers mengabaikan awak media "bermain" sendiri, untuk kesenangan pribadi sehingga berita yang muncul jauh dari harapan.

Penulis juga kadang mendapati awak media mencari iklan ke kantor pemerintah untuk mencari tambahan pendapatan. Tidak heran karenanya, ketika berita terbit maka muncullah kesan di masyarakat, berapa harga beritanya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun