Kamis malam ini penulis sedih. Bukan lantaran tertimpa musibah, bukan pula tidak punya duit atau pun tidak mendapat kiriman bantuan uang dari anak tercinta. Apa lagi ada yang menyakiti. Penulis tak punya musuh.
Betul, penulis sudah pensiun. Toh, pensiun bagi penulis sangat disukuri. Kini beban pekerjaan sudah ditinggalkan dan toh semua dapat dijalani dengan gembira. Tapi, mengapa harus bersedih pada malam Jumat ini. Ada genderuwo kah yang datang?
Bukan itu penyebabnya. Genderuwo bukan bagian dari penyebab penulis jadi sedih. Mahluk itu cukup sudah jadi bahan mainan para politisi.
Begini. Usai shalat magrib tadi, ustaz di masjid di dekat kediaman penulis menggelar pengajian rutin. Sekali ini ia memberi tausiyah seusai memberi penjelasan tentang Surat Maryam ayat 59 -- 63. Tak banyak yang dijelaskan. Sang ustaz yang bermukim di pinggiran Jakarta ini memberi penjelasan secara singkat dan padat.
Tidak perlu nama ustaz disebut di sini. Namun terkait dengan konteks penjelasan itu, ia sedikit melebar bicara. Utamanya menyangkut pentingnya umat menjaga adab dan etika ketika berbicara yang bersinggungan dengan ulama. Apakah berbiara di media televisi, suratkabar dan media sosial. Lantas, ia mengaku sedih ketika ulama diolok-olok.
Di tahun politik, terlebih pada momentum pilpres yang tengah berlangsung, ulama banyak didatangi umat. Dalam kaitan pelayanan kepada umat yang meminta doa, tentu ada kewajiban bagi ulama untuk menyampaikan doa.
Nah, jika terjadi ulama salah menyebut nama dalam berdoa kemudian diolok-olok, menurut sang ustaz tadi, sungguh hal itu sebagai perbuatan tidak elok. Ulama berkewajiban berdoa bagi umat, apakah momentumnya di tahun politik atau pun diluar event pilpres.
Kala ulama wafat, sebut dia, dunia ini terasa gelap. Pasalnya, umat kehilangan "cahaya" dan bimbingan menuju ridho Allah. Gelap yang dimaksud bukan lantaran matahari tak bersinar, tetapi umat kehilangan panduan dan panutan. Lagi pula, kala ulama wafat belum tentu 100 tahun ke depan akan hadir di permukaan bumi ulama 'mumpuni'.
Dewasa ini, sebutnya lagi, ulama 'mumpuni' makin langka. Sebab, mencetak ulama tidak sama dengan melahirkan seorang berpendidikan tinggi. Gelar akademik dapat diperoleh dengan perjuangan 'all out' lantas diberi gelar guru besar. Profesor. Mencetak ulama tidak seperti itu. Ia terlahir melalui proses 'berat' namun tetap dalam bimbingan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Berkehendak.
Ulama 'mumpuni' tak tergiur dengan kekuasaan. Juga tak tergoda ketika melihat wanita cantik. Apalagi harta. Ia selalu mendekatkan diri dan tak mengharapkan imbalan ketika memberi tausiyah. Mengajar santrinya tak berharap bayaran, tetapi semua dilakukan penuh ikhlas. Semua dilakukan karena semata berharap ridho Allah.
"Biar yang ikut mengaji satu orang, tetap berjalan. Ridho Allah semata dan ikhlas itu yang penting," ia menegaskan.