Jauh sebelum imlek 2019 tiba, kelenteng di kawasan Cable Car, Hat Yai, Thailand pada awal Januari lalu, sudah banyak dikunjungi para peziarah dari berbagai negara. Khususnya bagi umat penganut Agama Buddha. Meski begitu, banyak juga umat Kristiani dan warga setempat beretnis China ikut berziarah di sini.
Pada Imlek 2019, menurut penanggalan China, jatuh pada 5 Februari. Jadi, tahun Baru Imlek 2019 dimulai pada Selasa, 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat, 24 Januari 2020. Lazimnya seperti tahun lalu, beberapa kota, terutama di pusat keramaian banyak dihiasi lampion untuk menyambut tahun baru tersebut.
Penulis tak punya kapasitas dalam ramal meramal berdasarkan shio. Meski begitu, penulis saksikan para peziarah di kelenteng Cable Car Hat Yai itu umumnya berdoa dan berharap pada tahun Babi Tanah itu keberkahan dan kesejahteraan akan menyertai dalam kehidupannya.
Dalam suatu obrolan dengan seorang pemandu wisata di Hat Yai, didapati keterangan bahwa astrologi Tionghoa ditetapkan berdasarkan shio. Tercatat ada 12 Shio yang dikenal dalam astrologi Tionghoa: Tikus, Naga, Monyet, Kerbau, Ular, Ayam, Harimau, Kuda, Anjing, Kucing, Kambing, dan Babi.
Shio menggambarkan kepribadian dan diwujudkan kepada tiap simbol berupa binatang. Astrologi Tionghoa ditetapkan Dinasti Han pada kalender lunar, Tahun Babi Tanah menjanjikan keberuntungan dan berkat bagi semua Shio.
Lepas dari shio yang membawa keberuntungan atau tidak pada Tahun Babi Tanah ini, umat tetap mendatangi kelenteng untuk berdoa agar dijauhi dari bahaya dan doanya dikabulkan.
Catatan penulis, sejatinya Imlek merupakan perayaan tahun baru terpenting bagi etnis Tionghoa (China), dimulai di hari pertama bulan pertama di penaggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas (pada saat bulan purnama).
Di Indonesia, etnis China banyak bermukim di Palembang, Bangka-Belitung, Medan, Singkawang, Pontianak dan beberapa kota di Jawa (Jakarta, Semarang dan Surabaya). Tahun Baru Imlek dianggap sebagai hari libur besar untuk orang Tionghoa dan memiliki pengaruh pada perayaan tahun baru di sejumlah negara Asia.
Tahun Baru China dirayakan dengan meriah di daratan Tiongkok, Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand.
Perayaan tahun baru Imlek sempat dilarang di Indonesia pada 1965-1998. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Seperti juga pada sejumlah penganut agama, Imlek juga memiliki makna simbolik bagi etnis China dimana pun berdomisili. Kue keranjang, misalnya, dimaknai supaya setiap tahun agar setiap orang dapat mencapai prestasi gemilang pada pergantian tahun.
Kue keranjang menjelang Imlek banyak dijumpai. Belum lagi ikan bandeng, dalam ukuran besar, banyak dijumpai di sejumlah pasar trandisional dan mal. Ikan bandeng juga dimaknai sebagai pembawa berkah dan rezeki melimpah. Demikian juga jeruk, yang besarnya seperti bola, kerap laris karena dianggap sebagai pembawa keberuntungan.
Kini kawasan pecinan di sekitar Glodok, Jakarta Barat, makin ramai dikunjungi warga keturunan Tionghoa. Kebanyakan di antara mereka berbelanja untuk keperluan Imlek. Kawasan ini terkenal sebagai pusat perbelanjaan barang-barang keperluan Imlek. Mulai dari makanan hingga pernak-pernik Imlek tersedia di sini.
Kebanyakan yang dijual di sini adalah angpao atau amplop wadah uang berwarna merah. Umumnya saat Imlek saudara yang lebih tua memberikan angpao pada yang lebih muda. Yang menarik dari pemandangan di kawasan pertokoan di kawasan itu adalah para penjual pernak-pernik Imlek adalah etnis Jawa dan Betawi. Ini adalah gambaran bahwa Imlek demikian akrab dengan berbagai etnis.
Kini cara perayaan Imlek di Tanah Air disambut positif. Bahkan oleh warga dari etnis lainnya, seperti di Singkawang, misalnya, banyak etnis Melayu setempat kini pandai memainkan barongsai dan permainan naga.
Ternyata, bukan saja di Singkawang dan Pontianak, para pemuda Indonesia lainnya ternyata jauh sebelum kebijakan itu dikeluarkan sudah belajar seni beladiri dan ketangkasan dari negeri tirai bambu itu.
Seni bela diri wushu atau pencak silat ala China, kini berkembang pesat di Tanah Air. Para pemuda dari berbagai etnis pun ikut mempelajarinya dan dituangkan gerakan permainannya ketika berlangsung festival barongsai atau naga.
Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pun kini mengakui wushu sebagai salah satu cabang olahraga yang dapat dipertandingkan secara nasional. Bahkan atlet ini pada Asian Games di Jakarta, belum lama ini, meraih medali emas.
Sungguh menggembirakan lagi, bahwa para pemuda Indonesia dapat mengangkat prestasi lewat olahraga ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H