Pernyataan Amien Rais bahwa kini ada pers telah menjadi 'pelacur intelektual' sungguh mengganggu pikiran penulis. Bisa jadi pula di kalangan awak jurnalis.Â
Awalnya sih menyikapi pernyataan itu sebagai biasa-biasa saja, apalagi keluar dari sosok tokoh reformasi dan memiliki nama besar sebagai pendukung  pasangan calon Presiden kubu 02, Prabowo Subianto.
Penulis juga sadar sekarang memasuki masa kampanye yang makin "seru". Tapi jika ingat masa lalu, ketika Amien Rais masih menjabat sebagai Ketua MPR, pers merasa dekat dengannya.Â
Pers menaruh perhatian besar kepada tokoh Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) lantaran ia mampu mendorong perubahan masyarakat di Tanah Air. Khususnya, memerangi ketidak-adilan dan korupsi. Hehehe, hebat, kan?
Namun setelah keluar pernyataan kata "pelacur intelektual" lantaran ada di antara sekian banyak jurnalis dinilainya mengabaikan kebenaran, penulis jadi ingin tahu. Wajar, kan? Â Bukankah naluri ingin tahu itu hadir di dalam diri setiap insan. Tentu juga di kalangan insan pers lebih kuat lagi.
Pertama, kebenaran apa dan bagaimana yang dimaksudkan. Kedua, jurnalis dari media mana yang telah melacurkan intelektualnya. Ketiga, jika memang ada jurnalis tak mengindahkan kebenaran, kok tidak langsung disebut.
Apakah Amien Rais merasa takut? Tentu, tidak, dong! Apalagi tokoh ini seorang reformis, pemberani dan mampu menggoreng isu dengan dukungan ilmu akademik yang dimiliki. Amien sekarang makin piawai, lantang dan bersuara keras seperti tidak mau kalah dengan tokoh yang didukungnya, Prabowo Subianto.
Mungkin, keduanya kini tengah bermain dangdut. Joget Prabowo pun makin menarik. Kadang lagu dari keduanya "menyengat" di telinga, seolah mendorong publik untuk bersama menikmati  suara gendang bertalu-talu.Â
Kadang pula terasa indah dengan sebagian orang merasa hati mendidih karena lirik lagunya terasa pedas. Pernyataan kubu 02 memang terasa menyengat dan harus disikapi dengan bijak. Kata orang waras, jangan ikut berjoget dengan suara gendang orang lain. Â
 "We are intellectual prostitute. Kita wartawan telah menjadi pelacur intelektual. Jadi kita harapkan media massa, please jangan pernah menjadi pelacur intelektual," kata Amien di Jakarta, Sabtu (26/1/2019).
Pernyataan Dewan Penasehat Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga itu lantas melebar ke arah petahana Joko Widodo.
Apabila Capres petahana Joko Widodo sudah tak mampu memimpin Republik Indonesia, maka sebaiknya  diganti. "Ini petahana sudah inkompeten, tidak capable. Memang sudah harus diganti. Insyaallah, tentu saja betul-betul kita berdoa kepada Allah," sebut Amien Rais
Kemudian Amien melempar isu yang sama dengan tokoh yang kini diagungkan, Prabowo. Dikatakan, kondisi Indonesia makin memburuk, Â korupsi makin marak dan hutang negara bertambah. Bagi sebagian penentang Amien, Â ini lagu yang terdengar makin usang karena diulang-ulang bagai kaset kusut.
**
Pandangan penulis, pers kadang dipandang tidak netral dan memihak. Lihat, ketika Amien Rais menggaungkan reformasi, dukungan kepadanya demikian kuat. Â Pers setiap hari merasa haus dengan pernyataannya lantaran merasa bosan berpuluh tahun berada dalam tekanan Orde Baru. Awak media merasa tak bebas karena bekerja dibawah kontrol ketat, ancaman pemberedelan dan selalu diiringi kata: "Berita ini jangan dimuat, ya?"
Bagi penulis, pernyataan Amien bahwa pers sebagai "pelacur intelektual" pers seperti ungkapan "Kalau anjing menggigit orang itu bukan berita. Tapi kalau orang menggigit anjing itu baru berita" (John Bogart). Jadi, maaf, pernyataan itu adalah sebuah realitas yang mengejutkan. Karenanya, patut mendapat perhatian di kalangan awak media.
Namun kita pun ingat pesan tokoh jurnalis senior Mochtar Lubis. Kala penulis masih kuliah, wartawan kawakan ini mengatakan, "Di negara-negara di mana kontrol pers begitu kuat, pers bawah tanah berkembang pesat".
Bisa jadi, pers yang berseberangan dan tak sejalan dengan pikiran Amien Rais itulah dianggap telah melacurkan intelektualnya. Sayangnya, ia tak menyebut awak media atau jurnalis mana. Amien harusnya punya nyali dan langsung menyebutnya. Bukankah Amien Rais seorang pemberani seperti kala duduk sebagai ketua MPR tempo lalu?
Meski begitu, di ranah publik, kita meyakini bahwa  membatasi (gerak-gerik) pers berarti menghina bangsa, dan membatasi membaca buku-buku tertentu berarti mengatakan rakyat adalah orang-orang bodoh dan budak (Claud-Ardian Helvetius).
Saya sangat setuju dengan ungkapan Mochtar Lubis bahwa kemerdekaan pers (bukan ujug-ujung datang dari langit) merupakan suatu unsur di dalam peradaban manusia yang maju dan bermanfaat tinggi dan yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan.dan jika kemerdekaan pers tak ada maka martabat manusia menjadi hilang.
Lagi pula, kebebasan pers bukanlah semacam kebebasan ngobrol, bernyanyi dan menulis. Tetapi lebih menyerupai kebebasan membangun satu pabrik, atau daerah perumahan, atau menjalankan kereta api, atau membuat jalan by-pass. (Robert Sinclair).
Karena itu, sungguh pernyataan Amien Rais, bahwa pers sebagai "pelacur intelektual" sangat menyakitkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H