Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mardudim dan Ilmu Politik Utopia Tokek

24 Januari 2019   09:50 Diperbarui: 24 Januari 2019   09:57 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tokek di dinding. Foto | shutterstock

Perhitungan Bang Mardudim kadang tepat. Pasalnya, ia diam-diam menggunakan ilmu Tokek untuk mengambil keputusan. Itu bisa dilihat ketika ia menentukan pilihan, ikut partai A atau memilih partai B. Atau tidak sama sekali memilih alias Golput sehingga terbebas dari kerugian. Ia sadar berpolitik itu perlu 'logistik', salah strategi bisa "amsyong" seperti juragan sayuran tetangganya.

Mardud, demikian saya memanggilnya, selalu bekerja dengan teliti. Perhitungan. Diyakini, cerdas atau pintar saja tidak cukup dalam berpolitik. Karenanya, ia dalam melangkah pun harus tahu kapan hari keberuntungan datang dan menghindari 'sial' pada jam-jam tertentu.

Bagaimana ia mempraktikan ilmu Tokok itu. Cukup sederhana. Ia berkeliling kampung dan mencari  rumah yang dihuni Tokek. Kala Tokek mengeluarkan suara, ia seperti anak kecil mengikuti suara Tokek dengan kata-kata "boleh, tidak, boleh, tidak". Kalau suara Tokek berakhir dengan kata tidak berarti ia tidak boleh masuk partai.

Buku ramalan sio, horoskop hingga primbon diam-diam dipelajari.  Petunjuk primbon, jika dilihat dari tanggal kelahiran, Mardud tidak cocok menjadi politisi. Bila dilihat dari horoskop, ia tidak punya watak kuat untuk menghadapi para pembohong atau pembual. Apa lagi bermain kata-kata, memutar fakta atau memainkan isu menjatuhkan lawan, pesaing dari kubu lawan seperti disaksikan di layar televisi.

Apa lagi perhitungan sio. Mardud bersio kerbau. Karena itu, jangan heran, ia punya gerak lambat. Pemalas. Tapi Mardud tak percayai seluruhnya itu. Nih, buktinya, ia bisa mengetahui peta perpolitikan karena rajin mempelajari ilmu perpolitikan, ilmu sosial hingga perkelenikan. Perhitungannya pun selalu tepat.

"Abang itu pemalas. Baca buku melulu. Tak kerja fisik atau berolahraga. Karena malas gerakan badan, perut jadi gendut. Kaya kerbau," kata istrinya, Saidah suatu ketika.

**

Sebelum keluar rumah, Mardudim berkaca. Ia mengulang materi pidato yang disiapkan. Di depan cermin sambil berceloteh, ia menggerakan tangan, menunjuk ke atas dan pandangan dengan mata belo. Berpidato di hadapan cermin sangat baik. Pikirnya, dengan cara begitu ia akan mengetahui kekurangan yang ada pada dirinya. Apakah retorikanya bagus? Hanya ia yang tahu bersama Tuhan meski semua itu  tak ada yang mengeritik. Tapi, lagi-lagi pikirnya, itu semua tidak terlalu penting.

Tampil berpidato di hadapan publik dengan gaya khas diri sendiri penting. Soekarno, Presiden RI punya gaya sendiri. Soeharto dengan pidatonya yang datar ternyata juga punya pengikut setia. Semua presiden punya cara khas untuk merebut pengikut. Pikir Mardudim, berpidatolah dengan gaya khas yang dimiliki. Jadilah diri sendiri tanpa dibayangi oleh penampilan orang lain.

Tapi, itu saja belum cukup. Berpidato di hadapan banyak orang harus melihat momentum dan memperhatikan audiennya. Kalau yang hadir kalangan akademis, maka isi pidato harus diselingi kata-kata asing. Supaya terlihat intelek. Kalau di hadapan kalangan berpendidikan rendahan, ya harus menggunakan kalimat yang mudah "dikunyah".

Kini Mardudim belum juga percaya diri. Rasa "Pede" makin menjauh.  Pasalnya, ia belum mendengar suara Tokek untuk mengetahui apakah pidatonya di hadapan calon anggota legislatif dapat memberikan semangat.

Sementara penjelasan dari buku primbon dan beberapa buku lainnya tidak dapat memuaskan diri Mardudim. Dan, lantaran suara Tokek tak kunjung terdengar, akhirnya Mardudim memanfaatkan kancing baju untuk memperoleh jawaban sukses atau tidak untuk pidato di hari yang sudah ditentukan.

Ia mulai dari kancing yang ada di dada. Dihitung mulai dari atas lalu tiga kancing ke bawah. Sukses.. tidak...sukses... dan didapat jawaban tidak.

Mardudim binggung. Dan ia pun kaget bahwa di dekat kerah bajunya masih ada satu kancing. Ia ulangi memegang kancing baju, menghitung dari atas. Dari situ didapat jawaban sukses. Ia pun tertawa seorang diri. Gembira. Lalu, ia kembali bercermin dan berkata, "gue bakal sukses."

**

Dengan watak malasnya, Mardudim seharian berada di kamar. Ia membaca buku-buku politik hingga buku karya Kang Sobary (Mohammad Sobary) tentang "Fenomena Dukun dalam Budaya Kita".

Dalam keasyian dirinya itu, ia kadang hanyut dalam angan-angannya. Katanya, andai dirinya menjadi Nabi Sulaeman, ia akan mudah menerjemahkan kata-kata yang meluncur dari mulut Tokek. Sulaeman adalah orang terkaya di dunia dan menguasai bahasa-bahasa binatang. Termasuk semut sekalipun.

Andai dirinya mendapat mukjizat seperti yang dimiliki para nabi, kehidupannya tidak sesulit seperti yang dialaminya saat ini. Kalau ditanya tentang kehidupan, pasti dijawab seperti yang pernah diungkap Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI itu, bahwa hidup makin susah.   

Karena malas di kehidupan makin susah itu, Mardudim menyesali dirinya tidak masuk partai. Ia berfikir andai saja para Tokek ikut membantu memberi petunjuk dan mendorongnya jadi politisi, maka hidupnya tak semiskin seperti sekarang. Sekurangnya, bila menjadi politisi, menjelekan lawan politik lebih mudah.  Apa lagi menghadapi lawan politik, pokoknya harus dipandang buruk. Seperti sekarang, pemerintah ngomong apa saja, harus dikomentari jelek. Titik.

Alasan lainnya jika jadi politisi, ia dapat membantu sesama rekan. Dapat menjadi konsultan politik dan meramal. Apa lagi di dalam dirinya telah mengalir darah keahlian menangkap isyarat gaib.

Nasi sudah menjadi bubur. Mardudim yang terlalu percaya kepada primbon, horoskop dan sio-sio tetap saja miskin. Kata isterinya, itu perbuatan syirik. Menjauhkan diri dari ajaran para nabi dan lebih percaya kepada ramalan adalah perbuatan dosa besar. Mardudim, sebut isterinya, sering melamun.

Mardud telah menjadi  seorang utopia. Kerja tak mau tapi ingin sukses dalam kehidupan. Persis seperti orang yang mabuk judi, seharian banyak mengutak-atik angka atau nomor buntut pada era Orde Baru. Rakyat dinina-bobokkan lantaran hidup cukup memikirkan kode. Nomor kendaraan mobil lewat saja dijadikan petunjuk nomor yang akan nongol esoknya.

Jadi, sungguh pantas Mardudim kini menikmati hasil buah perbuatannya sendiri selama itu. Sebab, ia akhirnya masuk rumah sakit jiwa bersama politis kehabisan modal. Gila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun