Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Abaikan Aturan Penyebab Hilangnya Hak Pejalan Kaki

22 Januari 2019   21:12 Diperbarui: 22 Januari 2019   21:19 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ini contoh buruk, trotoar untuk kegiatan dapur, menempatkan barang rongsokan. Foto | Dokpri

Boleh jadi kala elit politik tengah mencari "panggung", pedagang kecil mendapat "angin" alias perlindungan ketika ditertibkan pihak otoritas setempat. Bisa jadi polisi pamong praja "tutup mata" kala pedagang merebut hak pejalan kaki di berbagai tempat lantaran merasa takut diperkarakan dengan isu  kekerasan terhadap "wong cilik".

Penertiban pedagang kaki lima di Jakarta bukan perkara mudah. Agar membuahkan hasil, Pemda DKI sering dijumpai dalam melaksanakan penertiban berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Polisi Pamong Praja tidak cukup "gigi" menghadapi pedagang kaki lima. Apa lagi ketika berhadapan dengan pedagang yang merasa sudah menyetor kepada para preman "uang keamanan".

Ini contoh buruk, trotoar untuk kegiatan dapur, menempatkan barang rongsokan. Foto | Dokpri
Ini contoh buruk, trotoar untuk kegiatan dapur, menempatkan barang rongsokan. Foto | Dokpri
Bukan rahasia umum satu kawasan kaki lima menjadi bagian kelompok tertentu. Jadi, setiap kawasan ada "penguasanya". Sementara Satpol PP yang punya kewajiban untuk membersihkan trotoar dari pedagang kaki lima tak cukup kuat menghadapi "penguasa" trotoar. Karena itu, Pemda dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan kenyamanan bagi pejalan kaki harus berhitung dengan kekuatan yang dimiliki.

Jika pihak pedagang kaki lima dan kekuatan lain berada di belakangnya, bisa jadi penertiban gagal dilaksanakan. Sering terjadi Satpol PP menjadi korban ketika melaksanakan penertiban. Sering pula rencana penertiban "bocor" sebelum dilaksanakan.

HakPejalanKaki selalu saja dirampas. Peristiwa Gubernur DKI Anies Baswedan membolehkan pedagang kecil berdagang di sebuah jalan raya di kawasan sekitar Tanah Abang adalah sebuah contoh buruk. Kebijakan terkesan belas kasihan kepada pedagang itu memberikan kesan bahwa pedagang lain diberi toleransi melanggar aturan bahwa trotoar dapat digunakan untuk berdagang.

Tentu saja, berikutnya, merepotkan aparat Pemda DKI Jakarta itu sendiri.

HakPejalanKaki selalu saja dirampas. Coba saksikan dalam sehari-hari di kawasan Lapangan Banteng. Sekarang dapat kita saksikan, bekas terminal bus terbesar di Jakarta itu demikian indah dipandang mata.

Trotoar di Thailand Songkhla Dragon Head, kawasan wisata Thailand ini bebas dari pedagang kaki lima. Foto | Dokpri
Trotoar di Thailand Songkhla Dragon Head, kawasan wisata Thailand ini bebas dari pedagang kaki lima. Foto | Dokpri
Sayangnya, jika anda berkeliling lapangan yang banyak dimanfaatkan karyawan ASN (Aparat Negeri Sipil) dan tentara yang berkantor dekat kawasan itu untuk berolahraga, mulai tumbuh sisi-sisi pengabaian aturan ketertiban. Terutama di Lapangan Banteng Timur, selain banyak digunakan sebagai sarana parkir mobil (rusak) juga warung kecil di kaki lima.

Bergeser ke lokasi lain. Bila anda berjalan kaki ke Terminal Pondok Ranti, dari arah perapatan Garuda, tak ada ruang untuk pejalan kaki. Kemacetan di tempat ini selain disebabkan  jalannya memang sempit, juga tak ada kemauan pemerintah untuk melebarkan jalan tersebut. Gubernurnya memang sudah berganti-ganti, perubahan atau pelebaran jalan tak pernah tersentuh.

Bergeser sedikit dari lokasi itu, Jalan Taman Mini. Persis di perapatan mall sering macet lantaran banyaknya angkot dan pedagang kaki lima mangkal di sini. Kala jam kerja, memang ada petugas polisi mengatur lalu lintas. Tapi, tenaga mereka pun terbatas dan tak mungkin bekerja siang dan malam di lokasi itu terus menerus.

Satpol PP sering menongkrongi kawasan itu. Mobil Satpol PP ditempatkan di depan taman anggrek. Maksudnya, untuk menakut-nakuti pedagang. Tapi, ya tetap saja muncul pedagang seperti main "kucing-kucingan".  Masih ada pedagang berani memanfaatkan trotoar untuk berdagang demi sesuap nasi.

"Saya mencari sesuap nasi di sini, mas! Ya, itu. Bukan segenggam berlian loh," kata seorang pedagang seafood.

HakPejalanKaki memang dirampas. Kenyamanan ketika berjalan di trotoar terasa "terbang" begitu saja. Belakangan muncul fenomena baru, trotoar dimanfaatkan untuk parkir motor. Lihat di depan RS Budi Asih, Jalan Dewi Sartika. Di tempat lain, trotoar bukan hanya dimanfaatkan para pengojek, juga dijadikan lahan sebagai penitipan motor. Ini terjadi bukan aparat tidak tahu, tetapi melakukan pembiaran karena tidak punya solusi.

Coba saksikan jika anda melintas di kawasan Kramat, Jakata Pusat. Persis di markas PMI Jakarta. Trotoar dimanfaatkan sarana parkir karena di kawasan itu tak ada lahan untuk parkir.

Terminal di Pahang sangat bersih. Bebas dari pedagang kaki lima. Foto | Dokpri
Terminal di Pahang sangat bersih. Bebas dari pedagang kaki lima. Foto | Dokpri
Sejatinya, perbaikan trotoar di Jakarta -- yang dilakukan jelang Asian Games 2018 -- secara bersar-besaran, sayogianya dibareng dengan pembangunan gedung parkir. Sungguh, Jakarta membutuhkan gedung parkir yang baik didukung fasilitas memadai seperti tempat shalat, istirahat bagi para sopirnya disertai catatan bukan dijadikan kawasan kumuh baru.

Bercermin dengan negara tetangga, Malaysia. Untuk terminal saja diatur sedemikian bagus. Trotoarnya bersih dan bebas dari pedagang kaki lima. Mengapa kita tidak bisa tertib.

Sejatinya, orang Indonesia itu bisa jauh lebih tertib. Ambil contoh, ketika bertandang ke Singapura, misalnya. Mereka bisa mengindahkan aturan yang ada, seperti tidak membuang sampah sembarangan. Orang Indonesia bisa ikut tertib karena disamping aturan setempat tegas juga aparatnya tidak pandang bulu.

Pemda DKI Jakarta juga bisa berbuat demikian. Bisa menyontoh Singapura atau Malayasia dalam menertibkan trotoar bebas dari pedagang kaki lima. Pedagang diatur di tempat khusus.  

Mengindahkan aturan memang perlu "tangan besi", bukan memberi toleransi yang berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun