Hidup di kota besar seperti Jakarta tanpa internet terasa bagai tinggal di sebuah kamar seorang diri. Â Sunyi. Tak ada nyanyian burung. Tak ada suara anak kecil tertawa atau tengah menangis. Sepi dari kebisingan lalu lintas. Juga tak ada suara dan gambar yang dapat disaksikan melalui layar kaca. Kalaupun ada berita melalui suratkabar, terasa beritanya tak aktual lagi. Basi. Â
Jiwa terasa kosong.Hampa. Jangankan untuk bicara dengan orang terdekat, dengan anggota keluarga atau lainnya terasa segan. Untuk saling sapa saja terasa tak bersemangat. Tak ada bahan atau materi yang patut dibicarakan seperti pada hari-hari sebelumnya kala internet di kediaman masih aktif.
Sejak pulang dari liburan ke Thailand, Malaysia dan Batam, pekan pertama Januari 2019, penulis merasa hidup di Jakarta terasa menderita. Pasalnya, ya itu, gara-gara internet diputus. Kabar buruk datang pada medio Desember 2018 bahwa Kementerian Komunikasi dan Informatika memutus First Media lantaran berbagai alasan.
Dari informasi yang diperoleh dari Kementerian Komunikasi dan Informatika disebut bahwa kementerian tersebut melalui Keputusan Menteri bersangkutan telah memutuskan pengakhiran penggunaan pita frekuensi radio 2,3 GHz untuk PT. Interux, PT. First Media, Tbk dan PT. Jasnita Telekomindo.
Seperti disebut Dirjen SDPPI Ismail di Gedung Serbaguna, Jakarta, Jum'at (28/12/2018), pengakhiran penggunaan itu disebabkan ketiga perusahaan tidak membayar biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio kepada Negara.
Bagi penulis, kala aktivitas hidup tanpa didukung internet, komunikasi dengan orang terdekat terasa tidak berkualitas. Pasalnya, diri terasa tak memperoleh materi informasi terbaru. Apa dan bagaimana kondisi terkini yang biasanya mudah didapat di jagat maya, ya semua tidak diketahui.
Setelah direnung, maka benar kata para ahli komunikasi bahwa manusia itu adalah mahluk sosial. Ia tak dapat hidup seorang diri. Manusia tak bisa dipisah satu sama lain dan harus eksis dalam komunitasnya. Manusia tak hanya membutuhkan sandang dan pangan untuk hidupnya, tapi masih banyak lainnya sebagai kebutuhan dasar. Termasuk pula pemenuhan rasa ingin tahu, yaitu informasi.
Jadi, hidup di zaman now tanpa dukungan internet bisa jadi seperti manusia mati suri dengan terus menerus didera rasa kesal dan menderita. Kondisi itu tambah parah kala ingat teman-teman yang beraktivitas di Kompasiana, diri menjadi rindu ingin melahap seluruh tulisan dan membacanya dan kemudian memberi komentar di kolom tersedia.
Lantas, apakah penulis berdiam diri saja kala internet tak aktif?Â
Jawabnya, tentu tidak. Penulis mencoba membeli paket data. Tapi, hasilnya tidak memuaskan. Baru dipakai beberapa kali, pulsa cepat melorot habis.
Tak tahan akan keadaan yang terus memusingkan, akhirnya penulis membongkar kabel langganan First Media. Dengan keringat bercucuran di tubuh di lantai dua dan atap rumah, kabel diputus. Hari itu juga penulis mendatangi kantor IndiHome dan mengajukan untuk berlangganan internet plus layanan televisi.
Pikir penulis, begitu mengajukan berlangganan dua hari kedepan sudah aktif. Ehh tak tahunya lebih dari dua pekan baru terpasang. Itu pun dilakukan dengan cara merayu pihak teknisinya terlebih dahulu. Sementara pada bagian informasi perusahaan berpelat merah ini, setiap dihubungi hanya sanggup membuat janji segera akan dilayani. Tapi, soal kepastian kapan dipasangnya, Â tak pernah dinyatakan dengan tegas.
Internet bagi kehidupan manusia memang kini sudah menjadi kebutuhan dasar. Jika saja penulis sudah merasakan betapa menderitanya hidup tanpa internet dab tanpa gawai, bagaimana ya nasib saudara kita yang hingga saat ini belum terlayani internet dengan baik. Masih banyak di daerah kita tak ada layanan internet. Kalaupun ada, dapat dipastikan masih banyak lemot alias lelet. Penulis yakin, bangsa ini akan maju jika layanan publik berbasis internet mendapat prioritas untuk dibenahi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H