Jumat malam itu terasa istimewa bagi kami. Sebab, di tepi Sungai Temerloh, Pahang, muncul inspirasi tentang negeri sendiri dan dikoyak bangsa sendiri dengan berbagai halnya.
Kata warga setempat, negeriku banyak perkare. Bukan karena banyak warga dan luasnya negeri, tapi berebut jadi pemimpin tak amanah.
Jika di Malaysie ini, kata warga Pahang, Sri Datuk Mahatir Muhammad ingin menyamakan semua warganya sama kedudukannya. Di Indonesia juga demikian. Di sini orang tak mau status istimewa warga Melayu dicabut. Di Indonesia hak istimewa juga ada, seperti Jogjakarta, tak boleh diganggu.
Alasan dan latarbelakang sejarah tentu jadi alasan. Â Indonesia dan Malaysia berbeda. Yang jelas, kemerdekaan Indonesia tak datang dari langit atau diberikan penjajah. tapi hal itu diperjuangkan dan direbut. Untuk Malaysia, ya kita sama-sama tahulah. Tapi, kok rakyatnya bisa sejahtera. Ini yang harus dicontoh?
Kala suku dan agama disebut, maka jadilah barang sensitif. Â Agama dan suku adalah parkara sensitif. Kala itu mengemuka, Mahatir didemo.
Senyatanya dua negara serumpun punya problem sama. Utamanya korupsinya juga saling bersaing. Seorang perdana menteri di negeri bisa tumbang. Di Indonesia, anggota dewan korupsi berjemaah pun bisa masuk bui.
Ah, sudahlah. Membandingkan dua negara serumpun tak elok dan tidak pula berkah. Tapi, kuping rasanya panas juga bila mendengar ucapan para warga Indonesia yang telah menjadi warga di jiran ini.Â
Apa pasal?
Katanya, meski mengaku sudah warga Malaysia tapi hati dan pikiran masih berada di Indonesia. Karena itu, Pilpres 2019 ini menjadi sorotan dan perhatian penuh para warga yang bekerja di perkebunan, pabrik dan sektor lainnya seperti transportasi dan pelabuhan.
Mereka berdoa, moga-moga hasil Pilpres membawa berkah. Lantas, siapa dari dua kandidat yang diharapkan bisa menjadi pemimpin?
Abang Nasution, seorang sopir taksi yang mengantar penulis keliling kota Pahang mengaku, posisi Joko Widodo sampai saat ini masih banyak disukai. Pandangan warga Malaysia dan warga Indonesia di Pahang, meski sudah menjadi warga setempat masih menganggap Jokowi unggul atas Prabowo Subianto. Unggulnya Jokowi didasari banyak orang membincangkannya dengan menyebut hasil kerjanya baik-baik.
Meski begitu, posisi Jokowi bisa saja disodok. Tapi tak bakal menembus dari angka yang kini didapat, Jokowi dipandang unggul di atas 60 persen dibanding Prabowo. Kalaupun Prabowo ubah strategi untuk menang, angkanya tidak tinggi sebab sudah terlambat mengejar terlebih lagi kerjanya dalam kampanye menjelekan lawan dengan kebencian.
Ah, sudahlah Pak Nasution jangan jelekan kandidat Pilpres kami kamu sudah jadi warga Malaysia, jadilah orang baik di negeri jiran dan kerja dengan baik agar bisa menyejahterakan anak dan isteri, pintaku.
Ia tak mau berhenti berceloteh, malah seolah mamaksa untuk bicara banyak. Katanya status warga tak mengubah rasa cinta akan negeri Indonesia.
Indonesia di mata warga Malaysia sesungguhnya disegani, kala korpusi sering menjadi pembicaraan hangat di media massa rasa hormat menjadi berkurang sebab korupsi menghalangi upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan rakyat.
"Saya sudah 40 tahun di Pahang. Paham betul pertarungan politik di Tanah Air," ia menjelaskan.
Agar pembicaraan Bang Nasution itu tidak makin melebar, penulis mengalihkan ke pembicaraan soal kebersehihan sungai Temerloh. Mengapa bisa seindah itu?
Mudah saja, katanya, pemerintah Malaysia banyak uang, bangun infrastruktur jalan dan jembatan. Termasuk pengaturan pengelolaan personil sungainya dengan membuat aturan tegas dilarang membuang sampah ke sungai. Rumah dilarang keras hadir di tepi sungai.
Menjaga sungai bersih itu tak susah. Ketahuan pelaku kotori sungai, tangkap dan denda.
Nah, karena sungai itu indah, kami pun berfoto bersama isteri. Â Ya, ingat-ingat masa mudalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H