Ah, lagi-lagi lagu lama dimainkannya. Sudah kubilang, aku tak suka lagu itu. Lagu lawas, apa lagi "lagumu". Busuk. Sekarang asapnya mulai nampak, dan dapat dipastikan di situ ada api menyala. Setidaknya, berupa arang yang tengah dikipas-kipas tukang sate di tepi jalan.
Sudah kubilang, aku tak suka "lagumu", watakmu yang busuk. Mengorbankan kepentingan orang banyak, penonton dan para penggila bola (gibol). Jika saja PSSI mendiamkan, akan kupanggil polisi.
Itulah ungkapan Si Sihol Hutabarat, yang sehari-hari nongkrong di tepi jalan bersama peralatan setianya berupa kompa angin, alat mendongkel ban, dan peralatan lainnya. Sihol memang selalu mengikuti berita-berita sepakbola. Sepakbola di belahan Eropa paling banyak diikuti. Maklum, ia menyebutnya, di sana sepakbola sudah masuk fase indurstri.
Di Tanah Air, juga selalu diikuti. Tapi justru yang seru-seru saja diikuti. Seperti adu jotos antarpemain di lapangan hijau. Juga pimpinan PSSI yang belakangan ini dicela karena tak membawa perubahan hingga prestasinya melorot. "Ya, melorot seperti celana yang saya pakai ini," kata Sihol hingga penulis ikut tertawa menyaksikan kelakuannya.
Siang itu, si tukang tambal ban ini mengaku tengah marah. Pasalnya, ia mengaku baru dapat kabar ada pengatur skor pertandingan kala tim nasional beranding.
"Kalau sudah begini, sepakbola kita bakal jalan mundur. Paling banter, berjalan di tempat," ia mengomentari kasus yang baru didengarnya itu.
Mafia sepak bola belakangan ini terasa mulai bergrilia. Gerakannya memang tak terlihat, tapi dapat dirasakan. Sebagai pengamat bola, hal itu tentu bisa menilai kala suatu tim bermain normal dan bermain tak wajar. Kapten Sriwijaya FC, Yoo Hyun-koo, mengaku pernah dihubungi seseorang untuk terlibat dalam pengaturan skor.
"Dia mau kasih saya uang sebesar Rp400 juta. Nah uang itu nanti dikasihkan dengan siapa-siapa, bisa pemain belakang, kiper atau pemain lain. Saya takut dan langsung saya tolak. Terus saya laporkan ke Manajer SFC Ucok Hidayat," ungkap pemain asal Korea Selatan ini saat dijumpai di Mess Muba, di Pakjo Palembang, Minggu (02/12/18).
Jika sudah demikian, bisa jadi penyakit sepakbola Indonesia kumat alias kambuh.
Sejatinya, mafia sepakbola di Tanah Air adalah musuh PSSI sejak lama. Di era kepengurusan Bardosono (1975-1977), mafia sepakbola sasngat kental mewarnai pertandinga-pertandingan hingga kepengurusan berikutnya. Meski saat Ali Sadikin dan Sjarnoebi Said pernyataan perang terhadap mafia sepakbola dikibarkan, tetapi hasilnya tidak menggembirakan.
Barulah di era Kardono, keseriusan melawan pegatur skor pertandingan mulai reda. Hal itu dilakukan dengan mencari para pengatur skor di kawasan Mangga Besar dan beberapa tempat lainnya. Pengatur skor juga punya home base di Singapura.