Anak pemulung juga punya hak disematkan gelar pahlawan. Alasannya, karena dengan segala keterbatasan yang dimiliki, para anak usia sekolah itu berjuang untuk meningkatkan derajat hidupnya. Mereka berupaya mengubah diri dari keterbelakangan: ekonomi, sosial dan budaya di tengah bau busuk sampah.
Dipandang kasat mata dan kehidupan normal, menjalani hidup demikian yang dilakoni para anak pemulung sehari-hari tentu saja bagi setiap orang belum tentu mampu dilakukan. Anak pemulung memiliki daya juang tinggi di zaman kemerdekaan ini.
Hidup sebagai gelandangan dianggap hina di tengah masyarakat. Tentu saja, orang yang hina biasanya tidak diindahkan orang banyak. Masyarakat gelandangan (pengemis dan sebagainya); orang-orang yang dianggap tidak berguna bagi masyarakat; sampah masyarakat.
Tentu saja, jika mengikuti alur pikir perumus dan pembuat definisi kata pada kamus tersebut, maka anak para pemulung, seperti di kawasan Bantar Gebang, termasuk golongan orang hina. Sementara dari sisi hak asasi, mereka punya hak untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan sebagaimana anak-anak yang hidup normal di bawah asuhan orang tuanya yang berkemampuan secara ekonomis.
Kalau saja anak pemulung tahu bahwa menjadi pemulung itu hina, maka bila boleh memilih lahir dari rahim siapa dan negeri mana, maka sejak proses jadi manusia di dalam kandungan akan meminta lahir di negeri makmur dan orang tua yang kaya. Tapi, Tuhan berkehendak lain.
Sungguh disayangkan. Belakangan ini aspek ekonomi dari sampah di kawasan itu jauh lebih tinggi dapat perhatian daripada nasib manusia yang mengurusi sampah. Pemulung dan anggota keluarga yang mencari nafkah di beberapa bukit sampah Bantar Gebang masih banyak dipandang sebelah mata. Ya, orang hina.
Hubungan kedua pemda jika digambarkan seperti orang yang tengah mengalami tensi tinggi. Kadang turun, bermanis-manis. Karena itu, tidak berlebihan jika Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti, Nirwono Joga menilai bahwa penanganan sampah dari DKI di penampungan Bantar Gebang hanya sebatas proyek (nilainya cukup besar).
Untuk kawasan penimbunan sampah ini, penulis pernah bertandang dan menjumpai anak-anak pemulung. Sedikit catatan bahwa di kawasan tersebut bermukim warga yang berasal dari Karawang, Indramayu, Banten, Sumatera Selatan dan paling banyak berasal dari Madura. Diperkirakan ada 3 ribu kepala keluarga (KK) dan 156 di antaranya berasal dari sekitar Sumur Batu, Bekasi.