Jika saja yang mabuk adalah pilot, bisa jadi bikin geger. Berita pilot menggunakan narkoba dan mabuk tertangkap tangan kala hendak memasuki Bandara dan kemudian dicegah, sudah banyak didengar melalui media massa. Nah, bagaimana kalau yang mabuk itu adalah penumpang itu sendiri.
Ini pengalaman. Usai melaksanakan tugas di Tokyo, meliput berbagai kegiatan olahraga, penulis kembali ke Tanah Air dengan menggunakan pesawat Cathay Pacific. Sebelum itu, saya singgah sehari di Hongkong bersama seorang teman. Tak perlu disebut namanya, ia mempunyai pacar seorang pramugari di kota itu.
Saya mau diajak singgah ke Hongkong karena, pertama, menghormati teman yang mengajak. Kedua belum pernah melihat wajah kota itu yang disebut-sebut banyak tenaga kerja Indonesia di situ. Dan, memang, ternyata benar pada malam hari TKW Â kumpul di sebuah monumen dan saling berinteraksi. Ada di antaranya, yang diingat penulis, punya paca orang bule. Hehehe, seru!
Puas berjalan-jalan, penulis kembali ke Bandara Hongkong. Dulu, seingat penulis namanya bukan  Bandara Chek Lap Kok seperti yang dikenal sekarang. Tapi, soal nama ini tak terlalu penting. Justru yang selalu teringat adalah ketika penulis merasa mabuk di atas pesawat. Bukan mabuk disusul muntah seperti bocah cilik ketika menumpang mobil ber-AC. Bukan itu.
Begini ceritanya. Usai pemeriksaan barang dan dokumentasi keberangkatan dari bandara itu, penulis dengan tiket ekonomi mendapat tempat duduk di barisan depan. Seluruh seat di kelas ekonomi tidak terlalu penuh.
Sementara di seat bisnis terlihat sekitar lima orang penumpang. Semuanya orang bule. Dugaan penulis, mereka berkebangsaan Amerika Latin, atau Portugal. Soalnya, kulitnya tak putih amat. Namun di antara mereka jarak duduknya berjauhan. Tak ada komunikasi antarbule. Penulis perhatikan, mereka kebanyak diam tak banyak cakap, baca koran, makan, minum lalu disusul tidur. Ada di antaranya ngorok nyaman.
Pramugarinya ramah. Gesit. Sesekali melirik dan memperhatikan penulis dari kejauhan. Nggak mau hilang kesempatan, penulis pura-pura minta air putih seusai makan siang. Mumpung penerbangan masih lama. Apalagi yang melayani cantik. Wiuh..... asal jangan ada yang iri saja.
Lantas, penulis mengisi kegiatan dalam pesawat dengan membaca koran. Berhubung korannya punya halaman banyak, penulis kadang agak repot membacanya. Suara koran ketika dibuka halaman per halaman menimbulkan suara kresek-kresek. Ini nampaknya mengganggu penumpang sebelah. Dugaan penulis, orang yang duduk di sebalah berkebangsaan Cina dan merasa terganggu.
Mungkin pramugari tahu aktivitas penulis yang terlihat rada sibuk baca koran melulu. Lalu, seorang pramugari mendekat kepada penulis.Â
Ia minta agar saya pindah duduknya di kelas bisnis, yang hanya jaraknya empat langkah. Penulis bingung. Tapi, sang pramugari nampaknya memaksa. Akhirnya, ya nurut. Apa lagi duduk di kelas mewah pesawat seperti itu diri ini terasa bagai seorang juragan gede.
Terasa duduknya lebih nyaman. Seat terasa lebar. Pantas saja, pikir penulis, bule di depan dekat jendela itu dapat tidur ngorok nyaman tanpa gangguan.Â
Ia tak sadar, ngoroknya telah mengganggu penumpang lain. Tapi, mungkin karena itu bagian dari hak seseorang, tak ada penumpang memprotes.Â
Kalau saja maskapai membuat aturan dilarang ngorok di pesawat, Â pikir penulis, akan ada unjuk rasa di setiap bandara. Mungkinkah?
Nah, kembali kepada diri penulis setelah mendapat kursi di kelas bisnis. Hanya dalam hitungan kisaran lima menit, pramugari mendekat. Penulis ditawari anggur. Mau anggur, anggur merah atau putih? Saya menjawab, putih.
Pelayanan minuman seperti itu hanya diperuntukan bagi penumpang untuk kelas bisnis. Untuk ekonomi, ya nggak lah. Namanya juga kelas bisnis, pelayanannya lebih prioritas. Tapi, bagi penulis, ternyata kemewahan pelayanan itu justru menjadi petaka.
Mengapa?
Penulis mabuk setelah minum anggur putih. Perut pun rasa mual. Beruntung tidak muntah selama perjalanan. Yang jelas, muka terasa panas. Maklum, belum punya pengalaman mengonsumsi minum seperti itu. Paling tinggi, kelas penulis adalah bir. Dan itu pun minum dengan segala keterpaksaan saat berada di Tokyo.
Dubes RI di Jepang, saat itu, Wiyogo Atmodarminta menyaksikan diri penulis kedinginan. Menggigil. Lantas, ia memberi sekaleng bir. Lalu, bir ditenggak. Ehh, badan terasa hangat.
Letnan Jenderal TNI Wiyogo Atmodarminto, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Bang Wi adalah tokoh militer dan politisi berkebangasaan Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Gubernur Jakarta periode 1987--1992. Sebelumnya, ia bertugas sebagai Duta besar RI untuk Jepang.
Nah, tentang mabuk di pesawat tadi sejatinya bisa dihindari. Kalau saja penulis punya pemahaman yang baik tentang berbagai jenis minuman keras, tentu kejadian seperti itu dapat dihindari. Pikir penulis, anggur yang ditawari layaknya seperti air teh biasa.
Tak tahunya, ya minuman yang tergolong minuman berkelas. Itu ternyata bukan minuman kelas penulis. Hehehe.. Karena itu jangan bodoh naik di pesawat. Pahami aturannya, kenali berbagai peristilahan dalam penerbangan.
Penting diingat, jika anda duduk di puntu darurat, pahami penjelasan pramugari. Bila anda diminta pindah, karena tak paham aturan instruksi pramugari, ya pindah duduknya. Nggak masalah, kan?
Banyak di antara penumpang ingin duduk dipintu darurat. Alasannya, ruangnya lebih luas. Sehingga, ketika kaki melonjor terasa lebih nyaman. Tapi, ya namanya aturan, harus diindahkan. Agar persitiwa pada InsidenJT610 tidak terulang.
Dalam setiap penerbangan ada istilah yang patut dipahami. Seperti Arm and crosscheck, cross check, Â Debrief, Â Demo dan Air pocket. Â Untuk memahami itu semua, ya nggak sulit. Bisa dicari di embah google.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H