Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kala Politik Memanas, Pers Perkuat Marwahnya

23 Oktober 2018   00:18 Diperbarui: 23 Oktober 2018   02:04 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atmakusumah, tokoh pers, tengah menyampaikan pidatonya saat peluncuran buku karyanya. Foto | Dokpri

Tidak ada pilihan lain, dalam kondisi politik memanas, Pers harus memperkuat marwahnya karena para elite politik belum cukup kuat memberikan pencerahan kepada rakyat dan pendidikan politik yang memadai.

Kalaupun ada elite politik dengan kesadaran sendiri memberikan pencerahan tentang arti pendidikan politik, itu yang dilakukan baru sebatas permukaan. Jauh dari substansi karena syahwat politik demikian kuat sehingga suasana panas sulit untuk diredam.

"Tidak ada jalan lain, Pers harus memperkuat marwahnya. Apa marwah pers itu, yaitu kepercayaan kepada masyarakat," kata pengamat politik dan peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI Dr. Siti Zuhro pada peluncuran dan bedah buku "Pers Ideal Untuk Masa Demokrasi", karya Atmakusumah, di Gedung Perpusakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan 11, Jakarta Pusat,  Senin (22/10/2018).

Memberi tanggapan atas pernyataan nara sumber. Foto | Dokpri
Memberi tanggapan atas pernyataan nara sumber. Foto | Dokpri
 

Pada situasi elite politik memainkan berbagai isu untuk menciptakan rasa "was-was", panas dan ketakutan, peran pers dirasakan penting.Tapi seberapa jauh hal itu dapat dilakukan dan dapat berpengaruh hingga membuahkan hasil, ia tidak menyebutkannya.

Kebutuhan sekarang bagi masyarakat adalah suatu iklim yang mencerahkan, sehingga warga di akar rumput tidak terbawa dalam iklim politik tersebut. Nah, di sini peran pers harus lebih ke depan dengan memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Publik harus diyakinkan oleh media massa. Bukankah kekuatan dari pers itu adalah trust atau kepercayaan? Jadi, peran pers kala kondisi menghangat, dia harus memberi pencerahan dengan kepercayaan yang dimiliki.

Sejak dulu Wiwik, sapaan akrab Ibu Siti itu, tidak setuju adanya debat publik dan tim sukses dalam perhelatan pemilu. Selain memboroskan biaya juga tidak dapat memberi pencerahan kepada masyarakat. Hasilnya, cuma mendorong warga di akar rumput saling berhadapan dengan sikapnya masing-masing.

Penulis dengarkan wawancara bersama narasumber. Foto | Dokpri
Penulis dengarkan wawancara bersama narasumber. Foto | Dokpri
 

Masyarakat kita, dari hasil penelitiannya, belum cukup dewasa untuk berdemokrasi dengan perdebatan dan membentuk tim sukes segala macamnya itu. Karena itu ia lebih setuju pada calon presiden dan wakil presiden banyak turun ke lingkungan perguruan tinggi ketika memperkelkan diri.

"Di situ, bukan untuk kampanye. Pilih saya dan seterusnya, tetapi memberi pencerahan kepada mahasiswa tentang arti berdemokrasi," ia menjelaskan.

 

Membagi tumpeng kepada Ketua Dewan Pers.Foto | Dokpri
Membagi tumpeng kepada Ketua Dewan Pers.Foto | Dokpri

Acara peluncuran dan bedah buku ini terasa istimewa. Sebab, Atmakusuma yang merupakan tokoh pers nasional itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-80. Maka, sebelum ia menyampaikan uraian tentang karnya itu dilakukan acara pemotongan tumpeng.

Hadir para tokoh pers seperti mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan (yang juga mantan Ketua MA), Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo dan jajarannya seperti Ahmad Djauhari, Hendri Chairudin Bangun. Nampak di acara itu antara lain mantan Ketua LIPI Taufik Abdullah dan beberapa wartawan dari Timor Leste.

Atmakusumah Astraatmaja dan lebih akrab disapa Bapak Atmakusuma memiliki catatan karir antara lain pernah bekerja sebagai Press assistant dan information specialist, pada U.S. Information Service (USIS) (1974---1992, Redaktur, redaktur pelaksana, harian Indonesia Raya (1968---1974), Redaktur kantor berita Antara, Jakarta. Persbiro Indonesia (PIA), Jakarta, Penyiar Radio Australia (ABC) di Melbourne, Australia, Deutsche Welle (Radio Jerman) di Koeln, Jerman.

Komentator masalah dalam negeri dan luar negeri pada Radio Republik Indonesia (RRI), Jakarta. Ketua Dewan Pers independen yang pertama, sejak Mei 2000 sampai Agustus 2003. Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), pusat pendidikan dan pelatihan jurnalistik praktis di Jakarta, sejak 1992 sampai sekarang. Anggota Dewan Pakar LPDS sejak Maret 2003. Direktur Eksekutif LPDS (1994---2002) Ketua Tim Ombudsman harian Kompas (2000---2003).

Bagir Manan dan Stanley mendapat kehormatan menerima potongan tumpeng dari Bapak Atmakusumah diirngi lagu ulang tahun. Pak Atmakusumah bersama isteri mendapat ucapan selamat yang kemudian disusul kata sambutan tentang buku hasil karyanya.

Sesungguhnya buku yang diluncurkan itu terwujud atas desakan beberapa teman jurnalis. Sebagai pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), saya didesak untuk menyempurnakan beberapa buku hasil karya sebelumnya.

Foto bareng. Foto | Dokpri
Foto bareng. Foto | Dokpri
Buku ini juga dimaksudkan untuk melengkapi tulisan Soebagijo Ilham Notodidjojo, atau yang akrab disapa Soebagijo IN.

Wartawan senior Kantor Berita Antara ini wafat 17 September 2013  pukul 4 subuh di rumahnya, di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Semasa hidup, dia punya komitmen kuat terhadap kerja jurnalistik. Sampai masa tuanya, dia telah menulis puluhan buku dan ratusan artikel dengan menggunakan mesin tik. Hampir seluruhnya membahas sejarah pers dan biografi tokoh. Orang pun menjulukinya 'kamus berjalan pers Indonesia'.

"Saya ingin melengkapi tulisan Soebagijo IN karena tulisan sejarah pers masih sangat sedikit," kata Atmakusumah.

Pers, kata dia, harus mendukung demokrasi. Seperti apa bangsa itu berkembang. Kebebasan pers harus terekam, termasuk kebebasan berekspresi.

"Keterbukaan itu tidak turun dari langit," ia mengingatkan.

Kebebasan menyatakan pendapat harus diperjuangkan. Berapa banyak peristiwa pemberedelan terjadi di Tanah Air, zaman old saat Belanda menjajah, di era Orde Lama, Orde Baru hingga ada pemaksaan pemberedelan dicabut dengan syarat permintaan maaf dari jajaran manajemen suratkabar.

Penulis bersama wartawan Timor Leste. Foto | Dokpri
Penulis bersama wartawan Timor Leste. Foto | Dokpri
Betapa pahitnya pers di zaman Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), Sudomo. Untuk itu ia berharap kalau sekarang ada kebebasan pers, maka hal itu harus dijaga sehingga bermanfaat bagi kemajuan suatu bangsa.

Itulah tujuan dari peluncuran buku ini.

Dan, mengomentari pernyaan Atmakusumah itu, Ibu Wiwik mengharapkan media massa harus diisi oleh awak yang profesional, kritis dan tajam. Pers harus membawa pencerahan mengingat kini tak bisa berharap pencerahan itu datang dari politisi. Saat ini sudah waktunya media menjadi sarana yang akurat, dapat menjadi acuan. Hindari rasa media si anu milik siapa.

Media massa sekarang dituntut kaya gagasan, informasi bernilai tambah. Pertanyaannya, media massa itu berpihak kepada siapa?

Bila aparat negeri sipil atau ASN jelas berpihak kepada abdi negara, maka menurut pengamat politik itu, pers harus menjadi pembawa peringatan dini (early warning) dan berpihak kepada kebenaran. Dan, Siti Zuhro merasa yakin bila para awak media, pemilik media dan seluruh pemangku yang terlibat di dalamnya mengindahkannya, maka pers mampu membangun dengan percaya diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun