Tablolit Bola telah menghantarkan diri saya sebagai penggila bola. Dulu disebutnya 'gibol', gola bola. Tabloid BOLA pulalah yang menjadi sebab diri saya dimarai pimpinan di kantor, dan melalui Tabloid BOLA pula saya banyak mendapat inspirasi menulis tentang bola dan 'terpaksa' terdampar di berbagai kawasan permukaan bumi yang luas ini.
Bagi saya tidak berlebihan menyanjung Tabloid BOLA. Terlebih banyak bersentuhan dengan para awaknya di lapangan hijau, di kompleks kawasan Gelora Bong Karno yang saat Orde Baru dikenal sebagai Stadion Utama Senayan Jakarta.
Saya tak tahu di antara awak media ini yang pada tahun 80-an pernah bertemu di berbagai kesempatan. Mereka tak hanya meliput sepakbola tetapi juga di berbagai cabang olahraga lainnya, seperti: sofbal, bulu tangkis, panahan, voli, bola basket hingga angkat berat.
Satu yang saya masih ingat kuat adalah Sumohadi Marsis. Ia penulis cabang olahraga sepakbola dan sekaligus menjadi lokomotif bagi anak buahnya dalam mengemas berita olahraga. Â Majalah ini sempat juga mengangkat cabang olahraga pencak silat tenaga dalam, satu cabang olahraga jaga diri melalui kekuatan bermuatan "mistis". Kala itu, berita macam "ginian" tengah naik daun.
Jadi, Tabloid BOLA mampu memenuhi selera publik dan memberikan informasi tambahan di luar tugas-tugas menyampaikan pemberitaan olahrga. Awalnya, ya sesuai dengan sebutannya Bola, sempat diri ini mempertanyakan kepada Almarhum Mas Sumo, demikian saya menyapanya, karena pemberitaan seperti itu tak patut diangkat. Tidak sejalan dengan semangat olahraga.
Tapi, apa jawaban sang nakhoda Bola saat itu. Katanya: "Selera pasar jangan diabaikan. Menaikan oplah media cetak jangan larut dengan selingan."
Sungguh sedih menyaksikan media cetak sekarang ini rontok bagai daun jatuh ke atas rerumputan. Â Terlebih media bersangkutan memiliki tingkat emosional demikian tinggi. Bagi saya, tabloid ini adalah tempat melatih diri untuk memahami organisasi-organisasi cabang olahraga.
Namun di sisi lain, saya pun sadar, kehadiran teknologi informasi telah banyak menggerus kehadiran media cetak. Beralih ke media online dan lainnya. Tabloid BOLA di antara sekian banyak media lainnya ikut gulung tikar. Sebesar apa pun media itu, gunung emas pun akan rata karena berbagai hal.
Beberapa cabang olahraga yang pada masa lalu berkantor di Gedung Gelora Bung Karno (GBK) - Â yang disebut Kanseleri Senayan -- sering mendapat kunjungan wartawan Bola. Ingat, Tabloid BOLA tak berarti melulu liputannya cabang olagaga bola. Nah, di sini awak media dari berbagai penerbitan sering bertemu.
Bukan hanya sesama wartawan politik adu cepat mendapatkan informasi seperti terjadi pada tahun politik sekarang ini. Persaingan mendapatkan berita teranyar juga di kalangan wartawan yang tergabung dalam Siwo PWI Jaya. Kasak-kusuk terjadi di gedung kanseleri mencari pengurus cabang olahraga.