Sebagai seorang kakek, mendengar sang cucu bisa bicara saja sudah gembira luar biasa. Sebab, pada usia lima tahun sang cucu baru bisa mengucapkan beberapa kata. Muncul beragam dugaan. Apakah hal itu disebabkan perbendaharaan kata yang dimilikinya sangat sedikit karena orangtuanya tak mengajarinya.
Atau tak bisa "ngoceh" sebagaimana bocah kecil lainnya dikarenakan terlalu dimanja. Konsekuensinya, cucu penulis yang bermukim di Batam itu tak bisa bicara dengan baik.
Gara-gara cucu penulis tak bisa bicara lancar, tidur menjadi sulit. Pikiran tercurah kepadanya. Didapati informasi bahwa ketika hendak masuk pendidikan usia dini, dilakukan pengetesan oleh manajamen sekolah. Didapati penjelasan bahwa cucu penulis -- Al Fatih -- tidak mau banyak mengeluarkan kata-kata ketika berkomunikasi sebagaimana yang dilakukan bocah sebayanya.
Wuih, sedihnya.
Al Fatih memang memiliki perbendaharaan kata sedikit. Realitasnya, itu bisa terlihat kala ia minta dibelikan es krim. Kalau tengah punya minat makan es krim dan permainan mainan kecerdasan -- seperti menyusun balok plastik bangunan dan konstruksi pesawat dan mobil, misalnya -- ia hanya mampu mengeluarkan kata sedikit. Sambil menunjuk es krim dan permainan yang terpajang di toko, ia bersikeras untuk segera diberikan.
Biasa, jika orang tua tak memenuhi permintaannya maka senjata yang digunakan adalah menangis sambil tak mau bergerak dari tempat ia berdiri. Gitulah kelakuan anak kecil.
Nah, bagaimana dengan upaya orang tua agar Al Fatih bisa bicara?
Kata banyak orang,  bahwa bocah kecil lelaki lambat  bicaranya dibandingkan bocah kecil perempuan. Memang, kenyataannya demikian. Sepupu Al Fatih, bernama Resna yang bermukim di Jakarta, ternyata lebih pandai bicara. Kala tengah ngoceh, Resna mampu menggoda eyangnya hingga tertawa.
Syukurlah. Meski Al Fatih tak bisa bicara seperti rekan-rekannya di lembaga pendidikan anak usia dini, ia diterima tanpa persyaratan. Awal sekolah, Al Fatih sangat luar luar biasa kelakuannya. Mau bersekolah, tapi begitu dilihat sekitarnya tak ada abi atau uminya, ya menangis.
Para pengajar rupanya memahami perilaku bocah seperti itu. Guru merangkul, menggendongnya dengan memosisikan diri sebagai orang tua pengganti. Lambat laun, Al Fatih terbiasa bersekolah tanpa harus ditemani kedua orangnyanya. Bahkan, ketika badannya demam, ia tetap minta diantarkan ke sekolah. Semangat bersekolah luar biasa.
Pertanyaannya, bagaimana dengan komunikasi di sekolah? Mengingat perbendaharaan kata yang dimiliki Al Fatih sangat minim.