Ace (35 tahun) sudah hampir tiga tahun menggeluti bisnis kue Rangi di beberapa titik kota Jakarta. Belakangan ini ia lebih banyak menjajakan kue tradisional khas Betawi itu di kawasan pemukiman kelas menengah ke bawah. Bahkan rumah beratap kardus bekas pun didatangi.
Kue ini terbuat dengan bahan campuran  sagu aren, kelapa parut dan gula aren. Gula aren dikentalkan dan ditempatkan dalam panci sederhana. Semua itu ditempatkan dalam sebuah kotak dagangannya di bagian belakang.
Sesekali bapak satu anak ini melempar senyum kepada orang yang menyapanya. Ia memang sudah mengenali orang penggemar kue rangi ini, yang kadang menghentikan langkahnya di tepi jalan minta dibuatkan kue. Ia, meski di ruang sempit, melayaninya. Warga kebanyakan lebih senang mengonsumsi kue ini dalam keadaan hangat.
Kue rangi disajikan dengan olesan gula merah yang dikentalkan dengan sedikit tepung kanji. Agar merangsang hidung dan menarik selera, gula cair kental dapat dicampuri dengan potongan nangka, daun pandang, nanas atau durian. Kue rangi rasanya gurih dan beraroma wangi karena dimasak dengan cara dipanggang menggunakan bahan bakar kayu kecil.
Cetakan kue rangi mirip dengan cetakan kue pancong atau bandros tetapi ukurannya lebih kecil. Beberapa pedagang kecil membuat kue rangi tanpa menggunakan cetakan kue. Hanya dikecilkan dan ditipiskan ukurannya.
Ace membenarkan bahwa bahan utama untuk membuat kue rangi itu berupa kelapa tua. Kalau mau enak menggunakan kepala tua. Tepung kanji atau tapioka memang bagus. Tapi lebih bagus lagi tepung aren, serta sedikit garam dan air. Adonan bahan kue ini tidak dapat bertahan lama. Mudah basi. Karena itu, harus dihabiskan dalam waktu satu hari.
Kue jenis ini sejak puluhan tahun diklaim sebagai makanan khas orang Betawi. Tapi sayang minatnya sekarang menurun. Meski begitu, Aceh meyakini dagangannya bakal bertahan karena di lingkungan sekolah dan pemukiman padat masih banyak yang menyukai.
Entah kapan kue ini populer dan kemudian redup, dilupakan orang Betawi. Tetapi, dalam sehari, ia mengaku bisa meraup untung Rp100 ribu per hari. Itu penghasilan bersih setelah dipotong beli bahan makanan dan bayar uang sewa pondokan.
"Dalam sehari, saya harus mengeluarkan penghasilan Rp10 ribu," ia membuka ceritanya.
Ada 25 pedagang kue rangi di kawasan Grogol. Semua ngontrak dalam satu rumah tiga lantai di kawasan Kampung Duri, kawasan perdagangan Roxy Mas, dekat rel KA. Kontrakan rumah dibayar secara bergotong royong. Semua pedagang mengeluarkan Rp10 ribu per hari, sehingga ketika jatuh tempo uang kontrakan sudah kumpul.
"Lagi pula, kita tiap bulan harus mengirim uang ke kampung. Uang dititip dengan teman yang pulang secara bergantian sebulan sekali," ia menjelaskan.
Prospek berdagang kue Rangi, menurut penulis, ke depan makin suram. Selain pedagangnya semakin langka, juga animo warga Betawi mengonsumsi kue tersebut berkurang. Berbeda dengan kerak telor yang popularitasnya sudah terlalu "beken" untuk kawasan wisata di Monas dan PRJ Kemayoran.
Selain itu, pembinaan terhadap pedagang ini pun tidak ada. Pemda DKI Jakarta juga belum pernah menyertakan pedagang ini untuk tampil berdagang di kawasan wisata Ancol, Jakarta Utara, misalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H