Siapa pun dia, apakah pakai songkok atau tidak, berbaju perlente atau seadanya, bawa mobil atau motor, akan dipanggil haji meskipun bermata sipit seperti penulis. Bagi para ibu, sudah berhaji atau tidak, akan dipanggil hajah.
Kala keluar toilet, parkir kendaraan dan masuk uang kerja akan diberi hormat sambil menyebut pak haji atau ibu hajah. Sepertinya sebutan itu demikian akrab, dan bila tak sebut gelar tersebut sepertinya khawatir menimbulkan dosa.
Padahal orang-orang yang dipanggil tersebut beragama katolik, kristen, hindu, buddha atau khong hucu. Semua pukul rata, panggil dengan gelar haji atau hajah. Kecuali jika memang yang bersangkutan sudah dikenal seperti pejabat, setingkat dirjen atau kepala biro. Orang yang dikenal itu, bolelah dipanggil pak atau bapak sambil membungkukan badan.
Sebutan atau panggilan haji atau hajah secara merata itu sering penulis temui. Anggota satuan pengaman atau Satpam di Gedung Kementerian Agama (Kemenag) , termasuk petugas kebersihan, selalu memanggil pegawai aparatur sipil negara (ASN) setempat dengan sebutan haji (pria) atau hajah bagi para perempuannya.
Antarpegawai juga memanggil rekannya dengan ji atau haji. Tidak menyebut nama orang, meski kadang dijumpai orang bersangkutan belum pernah umrah atau berhaji.
Di gedung Kemenag lainnya, Jalan Thamrin dan Gedung Irjen Kemenag Cipete dan daerah tidak semarak panggilan haji dan hajiah di Gedung Kemenag Jalan Lapangan Banteng. Jadi, bila ada orang mabuk gelar haji sementara dirinya sudah berhaji tapi tak pernah dipanggil haji, bolehlah datang ke gedung itu.
Pada peristiwa keagamaan, di Kemenag banyak ASN tak mengenakan songkok. Apa lagi sorban, meski di jajaran kementerian itu banyak di antaranya memiliki  kompetensi mumpuni di bidang agama. Ahli hadis juga banyak. Da'inya pun bejibun mulai dari tingkat kantor urusan agama atau KUA hingga perguruan tinggi negeri agama Islam.
Meski begitu, Kemenag tidak pernah membuat regulasi tentang gelar haji, kiai hingga ulama. Termasuk ustaz yang banyak memberi pencerahan di layar kaca, masjid dan tampil memberi tausiyah tatkala perayaan hari besar Islam.
Para ASN di kementerian itu tidak pernah meminta atau berharap diberi gelar-gelar keagamaan seperti ustaz, kiai hingga ulama meski memiliki keahlian di bidang agama. Malah merasa 'malu' diberi gelar lantaran berbagai hal. Antara lain, disebabkan nama kementerian itu jadi terpuruk di masa lalu menteri-menterinya, termasuk yang berasal dari partai, meninggalkan jejak buruk. Carilah?
Kalaulah ASN diberi sebutan haji atau hajiah oleh para anggota Satpam, atau petugas kebesihan, lantaran memang mereka sudah menunaikan ibadah haji. Setidaknya menjadi petugas haji dari kalangan Direktorat Penyelenggara Ibadah Haji dan Umrah (Ditjen PHU).
Pernah mengemuka para petinggi di kementerian itu melontarkan wacana bahwa penceramah harus ikut program sertifikasi, seperti halnya guru. Itu dimaksudkan agar kompetensi ustaz semakin jelas kualitas dan kemampuan pemahamannya terhadap hadis dan Alquran. Ia harus paham tentang Pancasila sehingga ketika berceramah tidak membenturkannya dengan hukum positif. Toh, reaksi yang muncul adalah penolakan mentah-mentah.