Petugas membersihkan lantai. Minuman baru dipesan. Lalu, kembali mereka bicara "ngalor-ngidul". Bicara masa lalu, meloncat ke masa kini hingga peluang bisnis baru dibahas. Juga membuat kesepakatan tak tertulis, menjodohkan putera-puteri mereka. Kapan anak-anak mereka akan menikah, sesuai kesepakatan, akan dibahas lebih lanjut.
Pertemuan mereka berakhir. Ditutup dengan makan siang bersama disusul berebut membayar makanan dan minuman yang mereka santap. Kasir sempat binggung, uang perempuan yang mana patut diterima.
**
Sejatinya, menjodohkan anak masih kecil banyak terjadi di masyarakat kita. Bukan hanya di desa, di lingkungan masyarkat perkotaan juga terjadi. Pelakunya, mulai berpendidikan rendah hingga tinggi sekalipun.
Itu terjadi dilatarbelakangi berbagai hal, seperti ikatan persahabatan antar keluarga, ikatan kekeluargaan dengan alasan menghindari harta (warisan) jatuh ke pihak lain, dan alasan-alasan lain.
Tentu saja hal itu sungguh memprihatinkan. Sampai-sampai Koordinator Kelompok Kerja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia Indry Oktaviani menyebut, tren peningkatan kasus perkawinan anak meningkat. Justru itu terjadi terhadap anak lelaki yang baru lulus SD dengan remaja perempuan berusia 17 tahun.
Di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, misalnya. Jelas saja peristiwa itu  menambah panjang daftar kasus perkawinan anak. Dari data tim Penggerak Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Sulawesi Selatan terungkap, sepanjang Januari hingga Agustus 2018 sudah ada 720 kasus perkawinan anak di wilayah itu.
Jika dibuka lebih lebar lagi, sesungguhnya perkawinan anak tidak hanya terjadi di daerah tertentu saja. Praktiknya terjadi di seluruh Indonesia. Ada 20 provinsi di Indonesia masih memiliki prevalensi perkawinan usia anak yang lebih tinggi daripada angka rata-rata nasional 22,82 persen.
Prevalensi perkawinan anak, menurut koalisi perempuan, terbesar ada di Sulawesi Barat (34,22 persen) disusul Kalimantan Selatan (33,68 persen), Kalimantan Tengah (33,56 persen), Kalimantan Barat (33,21 persen), dan Sulawesi Tengah (31,91 persen).
Lantas, apakah pemerintah diam?
Tidak. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise malah mendorong batas terendah perkawinan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinaikkan, terutama bagi perempuan, untuk mencegah pernikahan anak.