Â
Kemarin sudah kukatakan, bikin referendum. Bukan diserahkan ke badan peradilan, sekalipun para orang mulia disebut sudah bekerja maksimal. Toh keputusannya,  jauh panggang dari api. Hasilnya, jauh dari harapan. Malah, masyarakat dibikin frustrasi setelah menyaksikan para mantan koruptor mengucapkan rasa syukur kepada Sang Tuhan.
Itu bukan ungkapan mengejek. Tapi ungkapan rasa syukur yang datang dari lubuk hati bahwa mereka dibolehkan kembali mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif. Â "Hahahahaha. Tuh, lihat keputusan Mahkamah Agung (MA). Boleh , kan?"
Mendengar tawa keras rekannya di pagi hari, ruang kantor di pojok sana menjadi perhatian para pegawai lainnya yang baru tiba. Mereka saling pandang dan bertanya, pokok bahasan apa yang menjadi topik hangat hingga dua orang yang berdialog terlihat yang satu demikian gembira sedang lawan bicaranya cemberut.
Â
Jika sudah begitu, permainan uang menguat. Dalam pesta demokrasi yang 'kotor' dan penuh permainan uang, hukum bisa jadi barang dagangan. Pasal-pasal hukum jadi komoditas di atas pentas. Jika eks napi tadi memenangkan pemilihan legislatif ke depan dan berhasil duduk lagi, tentu saja potensi duit negara kembali ditilep sangat mungkin terulang.
Baca juga : Â Referendum Eks Napi Koruptor Boleh-Tidaknya Ikut Bacaleg, Mungkinkah?
Sudah kukatakan juga, rakyat itu sudah lama tersakiti. Mumpung pelaksanaannya pesta demokrasi itu masih punya waktu dalam hitungan bulan, dan belum di ujung mata, mengapa upaya membatalkan para napi eks koruptor disikapi berpangku tangan. Harus ada aksi nyata. Caranya, yaitu dengan class action.
Ini sebuah solusi dalam mengatasi frsutrasi. Ini usul waras jauh dari provokasi. Sebab, ketidakpuasan dan kejengkelan terhadap koruptor masih melekat kuat. Dukungan kerja kepada lembaga anti-rasuah tidak kurang. Tapi, para aparatnya seperti terpukau menyaksikan pengambil kebijakan dalam bidang hukum. Akhirnya, ya terpaku. Diam dan membeku.
Memerangi penjahat kerah putuh dan menjadi 'tikus-tikus' di lumbung atau kantong keuangan negara memang perlu upaya berkelanjutan. Karena itu, solusi menggunakan gugatan kelompok yang dikenal sebagai class action di Tanah Air perlu dipraktekan.
Diakui, cara ini masih  tergolong langka. Namun hasilnya nyata.
Class action pernah dipraktekan pada Pengadilan Negeri (PN) Garut, Jawa Barat, dua tahun silam. Tepatnya pada Kamis (26/2/2015) terkait Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bungbulang dilikwidasi pada 2007. Tabungan nasabah raib sebesar Rp4 miliar. Mereka menggugat Pembak Garut dan pengurus BPR setempat. Hasilnya, masyarakat memenangkannya.
Biasanya, class action digunakan dalam kasus lingkungan hidup kesamaan tipe tuntutan, penggugatnya sangat banyak dan perwakilannya layak atau patut. Penulis pernah mendengar class action dipraktekan di Kalimatan Barat terkait kasus kebakaran hutan dan lahan.
Publik di Tanah Air sebelumnya dikejutkan keputusan MA membolehkan mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Â Kita jadi prihatin. Sebab, jika kita lihat data di Komisi Pemilihan Umum (KPU) tercatat ada 200 mantan narapidana kasus korupsi yang mendaftar menjadi bakal caleg dari berbagai partai di sejumlah DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia untuk Pemilu 2019.
Nama-nama mereka telah dikembalikan oleh KPU karena berdasarkan PKPU tentang Pendaftaran Caleg, mantan narapidana korupsi tidak diperkenankan menjadi seorang caleg. Namun, putusan MA mengubah aturan itu. MA menggagalkan aturan itu dan membolehkan mantan narapidana korupsi untuk menjadi seorang caleg.
"Ha. Gimana ya kelanjutan negeri ini?"
Â
Sumber bacaan satu dan dua.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI