Belakangan ini di layar televisi tengah diangkat ramai para politisi membahas sejumlah bahan pokok yang disebut-sebut harganya tengah melambung, meroket atau menembus batas kewajaran sehingga pedagang tak bergairah berjualan.
Pasalnya, disebut-sebut daya beli masyarakat menurun. Terlebih saat menjelang Idul Adha, kebutuhan bahan pokok selalu berulang mengalami kenaikan. Para politis, khususnya dari koalisi Prabowo - Sandiaga Uno,- menyoroti prihal ini.
Ini tentu berbeda ketika rekan para polisi terkena operasi tangkap tangan (OTT). Mereka mengambil sikap "tiarap" seperti terkena hipnotis.
Tapi, pertanyaannya, kok baru sekarang punya perhatian serius seperti itu. Kemana saja selama ini mereka sembunyi?
Namanya juga politisi. Perhatian kepada rakyat, demi rakyat dan kesejahteraan rakyat adalah bagian dari komoditas politik bermusim. Ya disebut politik bermusim lantaran curahan hatinya untuk mendulang suara pada saat Pilkada dan Pilpers. Tentang ini tentu bagi rakyat yang waras sangat mahfum fenomena politik musiman.
Dalam suasana demikian, ada sebagian anak bangsa terbuai, ada mengernyitkan dahi dan ada pula merasa muak berujung sakit hati lantaran ada oknum partai tertangkap operasi tangan badan anti-rasuah KPK.
Rakyat kerap kali diajak untuk 'mengamini' setiap serangan kepada pihak lawannya. Sementara sebagian warga lebih mengambil sikap adem ayem. Cuek, masa bodo. Mereka berfikir bahwa soal isu naiknya harga sudah menjadi bagian dari  ranah para politisi. Itu kesan yang ditangkap penulis.
Di sini terlihat bahwa daya beli masyarakat untuk berbelanja tetap dalam jangkauan. Kalaupun ada beberapa bahan pokok yang naik, memang harus diakui. Seperti harga telur yang sebelumnya Rp25 ribu per kg, sekarang turun menjadi Rp23.000/kg. Cabe merah keriting sebelumnya Rp40.00/kg, dalam dua hari terakhir sudah turun menjadi Rp35 ribu.
Orang di sini belanja biasa saja. Pelanggan juga tidak berkurang, kata ibu Hanna, seorang pedagang sayuran yang dijumpai penulis di Pasar Kramat Jati.