Kebijakan itu dimaksudkan sebagai upaya pemerataan sebagaimana dimaksud Pak Muhadjir. Ia berkeinginan keras ke depan tidak ada lagi pendikan memiliki kasta, atau bisa juga disebut sekolah favorit atau ekslusif. Â
Tentu saja hal ini berbeda dengan sistem seleksi masuk ke jenjang lebih tinggi pada tahun sebelumnya. Tahun 2017 diberlakukan sistem rayonisasi. Sedang  pelaksanaan PPDB 2018 mengacu pada peraturan terbaru, yakni Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur penerimaan peserta didik baru (PPDB) lewat sistem zonasi.
Kebijakan yang tertuang pada Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 berlaku pada  jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas. Harapan pemerintah lagi-lagi ke depan adalah pemerataan kualitas dunia pendidikan harus berjalan lebih baik.
Pro dan kontra pun mengemuka ke media massa (sosial) . Harapan orang tua siswa yang sudah lama berkeinginan kuat mendapatkan sekolah favorit, ada diantaranya mengalami kecewa berat.
Orang tua mana yang tak ingin masa depan anaknya banyak menjumpai kesulitan. Semua orang tua berharap anaknya dapat bahagia, memperoleh pendidikan dari lembaga terbaik dan dapat masuk perguruan tinggi terkemuka. Ingat, pendidikan tinggi di Indonesia pun punya "kelas dan kualitas", masih berkasta dan bergengsi.
Karenanya tidak heran pula jika ada orang tua berani melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu  memalsukan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dengan memosisikan sebagai orang miskin. Tujuannya bukan untuk mendapatkan keringanan biaya karena SKTM palsu itu diperoleh siswa dari keluarga berkecukupan, melainkan SKTM ini dibuat agar anak bisa diterima bersekolah di tempat yang diinginkan.
Tentu saja pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengetahui apa yang terjadi di lapangan. Di akun instegram milik kementerian itu dibanjiri ribuan komentar berupa keluhan calon siswa dan orang tua terhadap PPDB 2018.
Diakui oleh Ari Santoso, jubir Kemendikbud, orang tua siswa cemas lantaran posisinya tergeser beberapa kali. Ada siswa yang merasa kecewa karena NEM-nya yang tinggi dikalahkan oleh kawan dengan NEM rendah karena alasan jarak. Ada pula yang mengaku cemas kalau anaknya tidak diterima di sekolah negeri karena posisinya terus tergeser oleh calon siswa yang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah.
Lalu terdengar keluhan siswa, "Untuk apa belajar keras. Lebih baik pindah rumah dekat sekolah yang diinginkan. Teman-teman saya yang pintar, NEM di atas 300, kalah sama yang NEM-nya 130, rumah dekat [sekolah pilihan]," keluh yang lain.