Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memberangus "Pendidikan Berkasta" dengan Sistem Zonasi, Bisakah?

12 Agustus 2018   17:16 Diperbarui: 12 Agustus 2018   18:23 888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertemuan dengan kompasianer, seru. Foto | Dokpri

Kebijakan itu dimaksudkan sebagai upaya pemerataan sebagaimana dimaksud Pak Muhadjir. Ia berkeinginan keras ke depan tidak ada lagi pendikan memiliki kasta, atau bisa juga disebut sekolah favorit atau ekslusif.  

Tentu saja hal ini berbeda dengan sistem seleksi masuk ke jenjang lebih tinggi pada tahun sebelumnya. Tahun 2017 diberlakukan sistem rayonisasi. Sedang  pelaksanaan PPDB 2018 mengacu pada peraturan terbaru, yakni Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 yang mengatur penerimaan peserta didik baru (PPDB) lewat sistem zonasi.

Kebijakan yang tertuang pada Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 berlaku pada  jenjang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas. Harapan pemerintah lagi-lagi ke depan adalah pemerataan kualitas dunia pendidikan harus berjalan lebih baik.

Pro dan kontra pun mengemuka ke media massa (sosial) . Harapan orang tua siswa yang sudah lama berkeinginan kuat mendapatkan sekolah favorit, ada diantaranya mengalami kecewa berat.

Ajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
Ajukan pertanyaan dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
Realitasnya,memang sistem zonasi pada PPDB pada tahun ajaran 2018/2019 banyak membuat orang tua siswa 'kecele'. Mereka sudah 'all out' menghabiskan biaya tinggi untuk aktif di lembaga bimbingan belajar terpopuler, les tambahan hingga kesempatan anak untuk rileks pun sulit. Latihan tambahan, sebentar lagi latihan dan latihan soal-soal dengan pengharapan dapat meraih nilai terbaik di kelas.

Orang tua mana yang tak ingin masa depan anaknya banyak menjumpai kesulitan. Semua orang tua berharap anaknya dapat bahagia, memperoleh pendidikan dari lembaga terbaik dan dapat masuk perguruan tinggi terkemuka. Ingat, pendidikan tinggi di Indonesia pun punya "kelas dan kualitas", masih berkasta dan bergengsi.

Karenanya tidak heran pula jika ada orang tua berani melakukan tindakan tidak terpuji, yaitu  memalsukan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dengan memosisikan sebagai orang miskin. Tujuannya bukan untuk mendapatkan keringanan biaya karena SKTM palsu itu diperoleh siswa dari keluarga berkecukupan, melainkan SKTM ini dibuat agar anak bisa diterima bersekolah di tempat yang diinginkan.

Tentu saja pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengetahui apa yang terjadi di lapangan. Di akun instegram milik kementerian itu dibanjiri ribuan komentar berupa keluhan calon siswa dan orang tua terhadap PPDB 2018.

Diakui oleh Ari Santoso, jubir Kemendikbud, orang tua siswa cemas lantaran posisinya tergeser beberapa kali. Ada siswa yang merasa kecewa karena NEM-nya yang tinggi dikalahkan oleh kawan dengan NEM rendah karena alasan jarak. Ada pula yang mengaku cemas kalau anaknya tidak diterima di sekolah negeri karena posisinya terus tergeser oleh calon siswa yang jarak rumahnya lebih dekat dengan sekolah.

Lalu terdengar keluhan siswa, "Untuk apa belajar keras. Lebih baik pindah rumah dekat sekolah yang diinginkan. Teman-teman saya yang pintar, NEM di atas 300, kalah sama yang NEM-nya 130, rumah dekat [sekolah pilihan]," keluh yang lain.

Serius ikut diskusi dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
Serius ikut diskusi dalam sesi tanya jawab. Foto | Dokpri
**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun