Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Indonesia Perlu Ajak Pimpinan Negara OKI Menata Kuota Haji

5 Agustus 2018   18:02 Diperbarui: 6 Agustus 2018   03:49 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap tahun Pemerintah Indonesia berharap kepada otoritas Arab Saudi dapat menaikan kuota jemaah haji. Tiap tahun pula harapan itu digaungkan. Di sisi lain, antrean jemaah haji Indonesia terus merangkak naik dan diperkirakan saat ini jika diperhitingkan baru bisa diberangkatkan pada 2035.

Daftarkan diri anda pergi haji dengan dana awal Rp25 juta. Sekarang. Lantas dapat porsi. Eh, setelah dicek, baru bisa berangkat entah kapan. Lalu, orang bersangkutan berucap, baru dapat berangkat pada saat 'lebaran kuda'. Saat mendaftar, sebagian pendaftar calon haji sudah berkategori tuwir alias lansia di atas 50 tahun. Bila beruntung badan tetap segar dan sehat, orang bersangkutan masih berpotensi dapat menunaikan ibadah haji.

Berkaca dari hal tersebut, idealnya aturan kuota haji sayogianya dapat ditinjau. Pasalnya, jika tetap saja berpegang pada 'belas kasihan' Kerajaan Arab Saudi, ya harapan itu jauh panggang dari api. Tegasnya,  tak sesuai dengan maksudnya atau tidak seperti yang diharapkan. Padahal, lobi Menteri Agama tentang permohonan tambahan kuota haji harus diakui tidak pernah kendur. Tapi, hasilnya, tidak selalu menggembirakan.

Indonesia sejatinya punya cara lain untuk memaksa Arab Saudi membuka diri dan melunak agar kuota haji dapat dievaluasi. Harapannya, kemudian dapat  ditambah kuotanya. Caranya, yaitu mengajak sejumlah negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk bersama duduk satu meja bersama otoritas Arab Saudi. Dari meja 'bundar', dapat dibicarakan dan diatur kembali tentang aturan kuota haji.

Bila besaran kuota tetap diserahkan sepenuhnya kepada Arab Saudi sebagai penjaga dua rumah suci itu, ya kembali lagi upaya lobi hanya sebagai menegakkan benang basah. Sia-sia. Penting diingat, hingga kini Indonesia masih menduduki sebagai negara pemeluk muslim terbesar. Jika begitu, jelas kita paling banyak dirugikan.  

Sejauh ini, Indonesia bersama OKI sudah sejak lama memahami kondisi pengaturan kuota haji berasaskan sama rata. Di sisi lain masih ada di antara negara yang sebagian warganya berpenduduk muslim tidak memanfaatkan kuota calon hajinya. Sebut saja Filipina, Korea Selatan dan Singapura, misalnya. Mereka, negara yang sedikit warga Muslimnya itu, dan masih banyak negara lain, tidak memanfaatkan kuota yang diberi Arab Saudi secara maksimal. Kuota haji tidak terserap dengan baik.

Karena itulah,  Indonesia penting mengajak pimpinan negara OKI untuk menguatkan soliditas. Para pemimpin negara-negara yang tergabung dalam OKI  untuk mengambil alih penetapan kuota haji dari Arab Saudi dan selanjutnya tidak menerapkan asas sama rata.

Indonesia pernah mengusulkan kepada otoritas Saudi Arabia bila ada negara yang tidak menggunakan kuota calon hajinya. Arab Saudi sayogianya langsung menyerahkannya ke Indonesia. Penting diingatkan berulang-ulang kepada Arab Saudi bahwa antrean jemaah haji Indonesia demikian panjang. Mengalihkan kuota haji negara lain yang tidak terserap kepada Indonesia menjadi hal penting. Dengan catatan, pendaftarnya pun dipermudah, tanpa persyaratan yang rumit.

Seingat penulis, Konperensi Tingkat Tinggi (KTT ) OKI pada tahun 1987 (saat masih bernama Organisasi Konferensi Islam) menyepakati tata cara penentuan kuota haji satu berbanding seribu (1:1000), yaitu satu dari setiap seribu orang penduduk muslim suatu negara, berhak mendapatkan kursi jemaah haji.

Melalui keputusan itu, Indonesia mendapatkan kuota haji terbanyak di antara negara berpenduduk muslim lainnya, kemudian diikuti Pakistan, India dan Bangladesh. Pemerintah Arab Saudi yang memegang otoritas wilayah Masjidil Haram di kota Makkah juga memiliki kewenangan luas untuk mengatur penyelenggaraan ibadah haji, termasuk penentuan kuota jemaah haji bagi tiap-tiap negara.

Melalui KTT OKI 1987, Pemerintah Arab Saudi berkewajiban menentukan kuota haji masing-masing negara, kemudian setiap negara berhak membagi kuota tersebut sesuai dengan porsi wilayah masing-masing. Dan berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 109 Tahun 2018 tentang Kuota Haji Tahun 2018, pemerintah mengatur bahwa kuota haji Indonesia berjumlah 221.000.

Kuota tersebut terbagi untuk 204.000 kuota haji reguler dan 17.000 kuota haji khusus. Untuk kuota haji reguler terbagi menjadi dua, yaitu 202.488 untuk jemaah haji reguler dan 1.512 untuk Tim Petugas Haji Daerah (TPHD).

Pada 2013 Pemerintah Arab Saudi mengurangi kuota pengunjung Masjidil Haram, termasuk di musim haji, karena proyek peningkatan kapasitas kawasan itu. Akibatnya, kuota jemaah haji Indonesia dari Arab Saudi menjadi hanya 168.000 orang.

**

Berulang kali pemerintah mengeluarkan imbauan agar umat Islam menunaikan ibadah haji sesuai syarat istithaah. Mengindahkan aturan yang dikeluarkan pemerintah. Sehat dan memiliki kemampuan. Tidak melakukannya dengan cara ilegal. Sayangnya, hingga kini belum juga dapat dipatuhi sepenuhnya. Berangkat haji ikut petunjuk dari Kementerian Agama (Kemenag) tidak diindahkan.

Masih kuat dalam ingatan peristiwa tertangkapnya 177 warga negara Indonesia di Filipina. Mereka saat akan bertolak ke Arab Saudi untuk berhaji diamankan pihak imigrasi setempat karena paspor yang mereka pegang ternyata diperoleh dengan cara ilegal. Mereka bertolak ke Tanah Suci menggunakan paspor Filipina. Kasus itu terkuat dilatarbelakangi kuota haji di negara tersebut tidak terserah penuh, lalu ada oknum memanfaatkannya.

Putra Mahkota Mohammed bin Salman, meskipun baru berusia 32 tahun, memiliki peran dominan untuk urusan militer Saudi, kebijakan luar negeri, serta kebijakan ekonomi dan sosial. AFP/SAUDI ROYAL PALACE/BANDOUR AL-JALOUD
Putra Mahkota Mohammed bin Salman, meskipun baru berusia 32 tahun, memiliki peran dominan untuk urusan militer Saudi, kebijakan luar negeri, serta kebijakan ekonomi dan sosial. AFP/SAUDI ROYAL PALACE/BANDOUR AL-JALOUD
Belakangan ini pihak keamanan Arab Saudi menangkap 116 warga Indonesia di negeri itu. Pasalnya, mereka yang terjaring pihak keamanan Arab Saudi di sebuah penampungan kawasan Misfalah, Makkah hendak menjalankan ibadah haji.

Dari hasil pemeriksaan berita acara (BAP) oleh Tim Petugas Konsulat Jenderal RI (KJRI) Jeddah di Tarhil (Pusat Detensi Imigrasi) disebut 116 WNI yang terjaring itu sebagian besar memegang visa kerja. Sisanya mereka masuk ke Arab Saudi dengan visa umrah dan visa ziarah.  

Padahal, jauh sebelumnya, Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah (PHU) Kemenag Nizar Ali telah menerapkan Sipatuh (Sistem Informasi Pelayanan Terpadu Umrah dan Haji Khusus). Yaitu sebuah Sistem Informasi Pengawasan Terpadu Umrah dan Haji Khusus. Tegasnya, SIPATUH adalah sistem layanan berbasis elektronik (web dan mobile). Ternyata, alat yang baru dikenal publik belum dapat meningkatkan pengawasan di lapangan.

Kendati begitu, kita berharap Kemenag akan mengambil langkah tegas dan mencabut izin operasional Perusahaan Penyelenggara Ibadah Umrah (PPIU) apabila terlibat dalam kasus penangkapan 116 WNI oleh pihak keamanan Saudi.

**

Dulu, pada 1987, ketika OKI masih sebagai organisasi konferensi Islam menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)  di Amman, Jordania. Indonesia  memperoleh kuota haji dengan jumlah terbesar di antara negara-negara berpenduduk muslim lainnya.  

Pemerintah Arab Saudi menentukan kuota bagi jamaah haji Indonesia sebesar 211.000 orang setiap tahunnya. Namun sejak 2013 kuota tersebut berkurang hingga 20 persen. Jumlah jamaah haji Indonesia dibatasi menjadi 168.000 orang. Sekedar catatan, kuota haji Indonesia 2017 kembali ke kuota sebesar 211.000 jemaah. Selain itu, pemerintah Arab Saudi juga menyetujui permintaan tambahan kuota haji Indonesia dan memutuskan menambah kuota 10.000.

Dengan begitu, kuota haji untuk Indonesia tahun 2017 dari 168.800 menjadi 221.000. Indonesia mengalami kenaikan sebesar 52.200. Pengurangan tersebut terjadi akibat proyek perluasan Masjidil Haram. Berdasarkan ketentuan tersebut, kemudian pemerintah menetapkan kuota haji reguler, kuota haji khusus, dan kuota provinsi dengan memerhatikan prinsip keadilan dan proporsional. Kuota haji provinsi kemudian disampaikan kepada gubernur masing-masing daerah.

Kemudian gubernur menentukan kuota haji untuk setiap kota dan kabupaten di wilayahnya masing-masing. Dalam menentukan porsi kuota bagi tiap provinsi, pemerintah mengacu pada data sensus penduduk BPS yang dimutakhirkan setiap 10 tahun sekali.  

Berikut ini rincian kuota jamaah haji dalam 12 tahun terakhir antar lain:

Kuota haji 2005: 205.000

Kuota haji 2006: 205.000

Kuota haji 2007: 210.000

Kuota haji 2008: 207.000

Kuota haji 2009: 207.000

Kuota haji 2010: 211.000

Kuota haji 2011: 211.000

Kuota haji 2012: 221.000

Kuota haji 2013: 168.800

Kuota haji 2014: 168.800

Kuota haji 2015: 168.800

Kuota haji 2016: 168.800

Catatan: sumber bacaan satu dan dua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun