Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nabi Saja Bisa Sombong?

3 Agustus 2018   08:29 Diperbarui: 3 Agustus 2018   11:12 1090
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar di halaman masjid | Dokpri

Jika sekarang ini ada ulama terlihat sombong, merasa paling pandai dan alim, hendaklah dapat disikapi dengan sabar dan bijaksana. Boleh jadi karena manusia tak lepas dari hawa nafsu dan sombong kala dirinya merasa di atas, lupa ketika dirinya berada di bawah.  

Ulama di Tanah Air pun sekarang sudah dikotak-kotak. Atau ada di antaranya tengah memilih kotak-kotak sebagai pilihan dan jalan menuai rejeki. Ada yang senang masuk kotak putih, kotak hijau, kotak biru, kotang kuning.

Belajar di halaman masjid | Dokpri
Belajar di halaman masjid | Dokpri
Ada tokoh elite politik menyebut kotak-kotak itu sebagai partai-partai. Partai pun diklasifikasi sebagai partai "surga" dan "neraka". Entah dimana ulama posisinya. Di kotak pituhkah, kotak hijau atau lebih nyaman di partai 'surga'.

**

Gambaran seorang nabi sombong itu terjadi dalam diri Nabi Musa. Disebut, dalam satu majelis, Nabi Musa merasa bersyukur dapat mengajak sebagian umatnya tetap konsisten mengikuti jejaknya. Ia pun terus menerus berkomunikasi dengan Allah, Tuhan Sang Pencipta jagad bumi agar karunia-Nya terus melimpah dan segala doanya dapat dikabulkan.

Nabi Musa pun merasa orang paling alim, orang paling pintar karena seluruh aktivitasnya di-back up Allah. Bagi kita, siapa pun dia, dalam menjalani roda kehidupan dan kemudian mendapat perlindungan dari sang bos, di-back up, tentu muncul rasa ria. Sombong pun kadang tak bisa disembunyikan. Dan, seorang preman pun dalam dunia kejahatan butuh back up. Apakah aparat hukum atau kekuatan uang melimpah.

Semangat belajar santri yang harus dijaga. Foto | Dokpri
Semangat belajar santri yang harus dijaga. Foto | Dokpri
Dan, dalam suatu kesempatan, Musa tentu bangga dirinya sebagai nabi doanya selalu dikabul. Ia pun merasa yakin mendapat back-up. Hingga pada suatu kesempatan, ia di dalam majelis, mendapat pertanyaan dari umat.

Tanya sang umat, Hai Nabi Musa As, siapakah di dunia ini orang yang paling alim dan pandai. Mendapat pertanyaan itu, Musa -- dengan penuh keyakinan -- menjawab pertanyaan umat dengan menyebut bahwa orang paling alim dan pandai di kolong langit saat itu adalah dirinya.

Akulah orang yang paling alim, jawabnya.

Mendengar jawaban Musa seperti itu, Allah menjadi marah. Namun dengan kebesaran-Nya, teguran kepada Musa itu tidak serta merta ditunjukan saat itu juga. Melalui perantara malaikat, Musa diingatkan bahwa ada di antara umat jauh lebih alim, lebih pintar dan konsisten bertakwa kepada Allah.

Musa menyadari kesalahannya. Allah memimbing Musa bahwa jika ingin menjadi lebih alim, pandai sayogianya belajar dengan orang alim. Siapa dia, ya yang dimaksud orang jauh lebih alim dan pandai itu? Ya, dia adalah adalah Nabi Khidir, atau biasa ditulis Khaidir.

Padahal, dalam berbagai literatur, kita tahu Nabi Musa adalah seorang nabi Ulul Azmi yang pernah bercakap-cakap dengan Allah dan memimpin Bani Israil. Dia pula satu-satunya Nabi yang disebut namanya dalam Al Qur'an sebanyak 300 kali.

**

Tentang kisah Nabi Musa belajar dengan Nabi Khidir, menurut penulis, demikian jelas dan mudah ditemui di berbagai laman. Namun pesannya tetap terasa aktual bahwa sorang nabi pun bisa sombong. Apa lagi ulama? Nabi saja bisa lupa diri dan menjadi sombong, apa lagi kita manusia biasa. (Kisah nabi Khaidir -- Al Kahfi 65-82).

Meski sarana terbatas, santriwati ini tetap bersemangat. Foto | Dokpri
Meski sarana terbatas, santriwati ini tetap bersemangat. Foto | Dokpri
Kisah Nabi Musa belajar dengan Nabi Khidir sayogyanya mengingatkan kita, bahwa dewasa ini -- menjelang Pilpres 2019 -- makin terasa umat dibuat bingung. Itu terjadi lantaran kekuatan partai menggiring ulama dengan segala buaiannya untuk masuk kelompoknya masing-masing.

Yang sudah terlanjur masuk di kotak, mendapatkan panggung dan terlanjut berada di kotak-kotak yang diberi warna itu, ada yang berdalih, hal itu dimaksudkan untuk memperbaiki sistem dan memperjuangkan aspirasi umat. Entah benar atau dusta, hanya ulama yang bersangkut yang mengetahui itu.

Di sisi lain, umat pun menyaksikan peceramah 'didorong-dorong' ikut bermain untuk mendapatkan 'tahtah'. Kalau saja ia tak populer, bisa jadi ia tidak ditegok. Karena diestimasikan dapat meraup suara, iming-iming pun mengalir kepadanya. Padahal, posisi ulama -- termasuk di dalamnya penda'i -- tengah dibutuhkan umat sebagai embun di pagi hari yang tengah dahaga.

Realitasnya, kelangkaan ulama juga diwarnai oleh hingar-bingarnya politik dan iming-iming politisi dengan janji tahta. Jika demikian, biasanya diikuti tawaran harta dan wanita. Kita berharap hal itu tidak terjadi dan ulama tetap konsisten memberi perhatikan kepada kebutuhan umat: pendikan dan pencerahan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun