Padahal, dalam berbagai literatur, kita tahu Nabi Musa adalah seorang nabi Ulul Azmi yang pernah bercakap-cakap dengan Allah dan memimpin Bani Israil. Dia pula satu-satunya Nabi yang disebut namanya dalam Al Qur'an sebanyak 300 kali.
**
Tentang kisah Nabi Musa belajar dengan Nabi Khidir, menurut penulis, demikian jelas dan mudah ditemui di berbagai laman. Namun pesannya tetap terasa aktual bahwa sorang nabi pun bisa sombong. Apa lagi ulama? Nabi saja bisa lupa diri dan menjadi sombong, apa lagi kita manusia biasa. (Kisah nabi Khaidir -- Al Kahfi 65-82).
Yang sudah terlanjur masuk di kotak, mendapatkan panggung dan terlanjut berada di kotak-kotak yang diberi warna itu, ada yang berdalih, hal itu dimaksudkan untuk memperbaiki sistem dan memperjuangkan aspirasi umat. Entah benar atau dusta, hanya ulama yang bersangkut yang mengetahui itu.
Di sisi lain, umat pun menyaksikan peceramah 'didorong-dorong' ikut bermain untuk mendapatkan 'tahtah'. Kalau saja ia tak populer, bisa jadi ia tidak ditegok. Karena diestimasikan dapat meraup suara, iming-iming pun mengalir kepadanya. Padahal, posisi ulama -- termasuk di dalamnya penda'i -- tengah dibutuhkan umat sebagai embun di pagi hari yang tengah dahaga.
Realitasnya, kelangkaan ulama juga diwarnai oleh hingar-bingarnya politik dan iming-iming politisi dengan janji tahta. Jika demikian, biasanya diikuti tawaran harta dan wanita. Kita berharap hal itu tidak terjadi dan ulama tetap konsisten memberi perhatikan kepada kebutuhan umat: pendikan dan pencerahan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H