Food Photographer itu sesungguhnya adalah juga seorang jurnalis. Mengapa? Â Sebab, Â dia bukan 'tukang' foto amatiran (lagi) yang biasa kita saksikan seperti tukang potret keliling di tempat tertentu, kawasan wisata atau di tempat keramaian yang tiba-tiba muncul mengagetkan publik.
"Cepret, ...cepret...," gitu suara kamera sang pemotret yang tak berapa lama  kemudian hasilnya dicetak dan disodorkan kepada tamu sambil minta bayaran.
"Haa, mahal amat sih," jawab sang tamu sambil mengeluh dan terpaksa membayar karena merasa iba kepada sang pemotret tadi.
Logika menyamakan food photographer sebagai jurnalis adalah dari hasil produknya. Kita pun maklum bahwa jurnalis punya tugas secara teratur menuliskan berita berupa laporan yang kemudian dimuat di media (tempatnya bekerja) secara teratur pula.
Dalam aktivitasnya sang jurnalis atau wartawan melakukan pengolahan, penulisan - termasuk berupa foto - dan disebarluaskan kepada publik melalui media massa. Nah, sang food photographer juga demikian meski tidak semua hasil karyanya dimuat di media massa. Namun, realitasnya, karya-karya sang pemotret makanan lezat itu telah banyak menghias media sosial (tercetak), termasuk media online.
Jadi, foto adalah bagian terpenting dan wajib hadir pada media massa. Maka, selanjutnya manajemen media massa merasa perlu menghadirkan foto jurnalistik. Dalam realitasnya, kesatuan berita berupa teks dan gambar dapat mengekspresikan pandangan jurnalis terhadap suatu topik.
Karya-karya foto jurnalistik tidak lagi terbatas pada media cetak seperti koran dan majalah, juga media massa yang memanfaatkan jaringan internet. Nah, disinilah food photographer ikut berperan.
**
Dalam jagat jurnalistik, ada beberapa jenis foto jurnalistik seperti spot photo yang dibuat dari peristiwa tidak terjadwal dan diambil oleh photographer langsung di lokasi kejadian. Misal, kecelakaan lalu lintas, kebakaran atau perkelahian antarpelajar di jalan raya.
Masih banyak lagi jenis foto jurnalistik mulai yang disebut general news, sport photo, science and technology photo dan social and environment. Penulis tak merasa perlu menjelaskan secara detail mengenai hal ini, tetapi untuk food photographer masuk dalam kelompok art and culture photo.
Mengapa food photographer itu masuk sebagai foto seni dan budaya? Jawabnya sederhana, karena objek foto berupa makanan ditampilkan secara apik dan mengindahkan kaidah budaya masyarakat. Di media massa, khususnya suratkabar, ada suatu ketentuan bahwa syarat foto jurnalistik selain mengandung berita dan secara photografi bagus, foto juga harus mencerminkan etika dan norma hukum.
Coba perhatikan tampilan Fellexandro Ruby pada acara Taste of Macao di NUSA Indonesian Gastronomy Restoran, Jalan Kemang Raya No. 81 Kemang, RT.2/RW.2, Bangka, Mampang Prapatan, Sabtu (14/7/2018) lalu. Acara itu sendiri digelar atas dukungan Macao Goverment Tourisme Office bersama Kompasiana.  Saat itu ikut tampil Chef Ragil Imam Wibowo menunjukan kemahirannya dalam memasak.
Pada acara itu pula, sang photographer profesional Fellexandro Ruby mampu menjawab pertanyaan para undangan secara detail, mulai soal menata kue dan menampilkan peralatan pendukung hingga diupayakan hasil karyanya dapat mengundang selera.
Di era digital, masyarakat diberi kemudahan dalam mendapatkan informasi. Informasi demikian melimpah, namun tidak sedikit di antaranya berupa informasi sampah lantaran tak bermanfaat. Masyarakat butuh inforamasi yang menyangkut perubahan di sekitarnya. Dan, kualitas informasi menjadi penting karena akan ikut memberi kepercayaan dan kepuasan terhadap publik.
Baca juga Indonesia Bisa Contoh Macao Sebagai Pusat Gastronomi
Kedepan, dapat diyakini, profesi food photographer akan ikut mewarnai kepercayaan publik. Terlebih karya para food photographer demikian 'menggiurkan'. Para juru foto dari profesi ini telah ikut mendorong peningkatan income bagi para pengelola media online dewasa ini. Saya sebut demikian karena profesi ini menekankan keindahan, seni dan tata letak menu makanan yang sedemikian apik sehingga mengundang selera.
Di sisi lain, tanpa sadar, food photographer juga sangat mengindahkan etika dari kultur masyarakat setempat. Keindahan yang ditampilkan dalam foto tidak semata diupayakan tampil secara alami (natural), tapi juga memiliki sisi positif yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia melalui kemahirannya dalam mengolah masakan.
Jika mencermati tampilan Fellexandro Ruby pada acara Taste of Macao tempo hari, penulis merasa terkejut lantaran cara pengambilan objek tidak semudah yang dibayangkan. Mengapa? Ini disebabkan Ruby harus mengeluarkan waktu persiapan demikian lama. Selain tata cahaya yang harus bagus, objek foto juga harus ditata dengan apik. Bahkan, untuk acara tertentu ia membawa sendok dan garpu sendiri dengan warga kehitaman. Mungkin, agar dalam foto tidak menimbulkan efek pantulan cahaya.
Pertanyaannya, bagi food photographer yang banyak menjepret makanan dari berbagai sudut di berbagai event, akankah karya-karya mereka yang banyak menghiasi media online dewasa ini diakui sebagai bagian dari karya jurnalistik? Menurut penulis, jawabnya, iya. Meski hal itu bagi sang juru fotonya tidak terlalu penting.
Terpenting, food photographer harus memperhatikan perkembangan terakhir dari sebuah produk makanan dan budaya setempat. Ingat, produk jurnalistik itu tidak selalu berada di layar televisi atau media cetak, tetapi terpenting karya itu telah memberi kontribusi untuk menambah keyakinan publik akan cita rasa yang dihadirkan.
Eloknya, dalam praktek, Â food photographer dalam bekerja dapat didampingi seorang food stylist. Mengapa? Ya, karena seorang juru foto ini ternyata mengakui lebih susah daripada memotret seorang foto model. Seorang foto model bisa diatur, sedangkan food photographer seperti Ruby harus menata menu sendiri sehingga makanan atau hidangan tampak menggiurkan.
Kini, jagat jurnalistik - seiring perkembangan zaman - telah diperkaya para food photoghrapher seperti yang ditampilkan  Fellexandro Ruby pada acara Taste of Macao di NUSA Indonesian Gastronomy Restoran, beberapa hari lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H