Mengapa food photographer itu masuk sebagai foto seni dan budaya? Jawabnya sederhana, karena objek foto berupa makanan ditampilkan secara apik dan mengindahkan kaidah budaya masyarakat. Di media massa, khususnya suratkabar, ada suatu ketentuan bahwa syarat foto jurnalistik selain mengandung berita dan secara photografi bagus, foto juga harus mencerminkan etika dan norma hukum.
Coba perhatikan tampilan Fellexandro Ruby pada acara Taste of Macao di NUSA Indonesian Gastronomy Restoran, Jalan Kemang Raya No. 81 Kemang, RT.2/RW.2, Bangka, Mampang Prapatan, Sabtu (14/7/2018) lalu. Acara itu sendiri digelar atas dukungan Macao Goverment Tourisme Office bersama Kompasiana.  Saat itu ikut tampil Chef Ragil Imam Wibowo menunjukan kemahirannya dalam memasak.
Pada acara itu pula, sang photographer profesional Fellexandro Ruby mampu menjawab pertanyaan para undangan secara detail, mulai soal menata kue dan menampilkan peralatan pendukung hingga diupayakan hasil karyanya dapat mengundang selera.
Di era digital, masyarakat diberi kemudahan dalam mendapatkan informasi. Informasi demikian melimpah, namun tidak sedikit di antaranya berupa informasi sampah lantaran tak bermanfaat. Masyarakat butuh inforamasi yang menyangkut perubahan di sekitarnya. Dan, kualitas informasi menjadi penting karena akan ikut memberi kepercayaan dan kepuasan terhadap publik.
Baca juga Indonesia Bisa Contoh Macao Sebagai Pusat Gastronomi
Kedepan, dapat diyakini, profesi food photographer akan ikut mewarnai kepercayaan publik. Terlebih karya para food photographer demikian 'menggiurkan'. Para juru foto dari profesi ini telah ikut mendorong peningkatan income bagi para pengelola media online dewasa ini. Saya sebut demikian karena profesi ini menekankan keindahan, seni dan tata letak menu makanan yang sedemikian apik sehingga mengundang selera.
Di sisi lain, tanpa sadar, food photographer juga sangat mengindahkan etika dari kultur masyarakat setempat. Keindahan yang ditampilkan dalam foto tidak semata diupayakan tampil secara alami (natural), tapi juga memiliki sisi positif yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia melalui kemahirannya dalam mengolah masakan.
Jika mencermati tampilan Fellexandro Ruby pada acara Taste of Macao tempo hari, penulis merasa terkejut lantaran cara pengambilan objek tidak semudah yang dibayangkan. Mengapa? Ini disebabkan Ruby harus mengeluarkan waktu persiapan demikian lama. Selain tata cahaya yang harus bagus, objek foto juga harus ditata dengan apik. Bahkan, untuk acara tertentu ia membawa sendok dan garpu sendiri dengan warga kehitaman. Mungkin, agar dalam foto tidak menimbulkan efek pantulan cahaya.
Pertanyaannya, bagi food photographer yang banyak menjepret makanan dari berbagai sudut di berbagai event, akankah karya-karya mereka yang banyak menghiasi media online dewasa ini diakui sebagai bagian dari karya jurnalistik? Menurut penulis, jawabnya, iya. Meski hal itu bagi sang juru fotonya tidak terlalu penting.