Apa urusannya belajar mengolah kopi di Thamrin City? Jika ke sana, ya sudah jelas yang ditemui adalah para pedagang grosir pakaian untuk masyarakat kelas menengah hingga atas, para selebriti berbelanja pakaian batik hingga pakaian muslim dan segala kebutuhan asosoris wanita dan pria.
Thamrin City - yang lokasinya di belakang Hotel Indonesia (HI) Â - belakangan namanya makin mencuat menyaingi penjual pakaian di kawasan Tanah Abang. Dalam beberapa tahun terakhir, memang Thamrin City menjadi pesaing berat bagi para pedagang di kawasan Tanah Abang yang sudah beken di kawasan Asia Tenggara (Asean).
Apa yang dijual di Tanah Abang, ya di Thamrin City atau populer di kalangan para ibu disebut Tamcit (baca: Tamsit), sudah dapat dipastikan barang serupa tersedia di situ. Lokasinya pun tak jauh dari kawasan Tanah Abang. Jadi, tak ada yang berbeda di sini. Yang membedakan cuma menuju kedua kawasan itu. Kalau ke Tanah Abang lebih terasa macetnya sementara ke Tamcit ya relatif lenggang. Apa lagi pasca lebaran.
Beberapa hari lalu penulis bertandang ke Tamcit. Tanpa sengaja melihat kios kopi Gmari Kopi, khas kopi nusantara, yang menyuguhkan kopi Gayo, dari Aceh, Mandailing dari Sumatera Utara dan Toraja dari Sulawesi Selatan.
Merasa tertarik, penulis yang ditemani isteri minta kepada penjaga kios Gmari Kopi tadi untuk dibuatkan segelas kopi khas Mandailing. Sang pelayan dengan ramah - yang belakangan diketahui bernama Kunradus, asal Flores (Nusa Tenggara Timur) - memenuhi permintaan tersebut. Ia pun menawarkan kopi dingin atau hangat.
"Saya mau yang hangat saja," jawabku singkat.
Kusaksikan, ada yang berbeda. Sebab, cara penyajiannya tidak seperti penjual kopi pada umumnya. Seperti cara kopi tidak diseduh langsung seperti penjual kopi di tepi jalan. Hal ini mendorong penulis bertanya mengapa kopi yang dipesan tadi harus diukur beratnya, kemudian digiling dengan cara khusus, barulah kemudian disatukan dengan air panas dengan cara disirami perlahan-lahan.
Kanradus menyebut, kopi yang akan disuguhkan kepada saya beratnya antara 13 hingga 15 gram. Itu cukup. Tapi, jika ingin berat lagi cita rasanya, bisa diolah dengan cara penguapan. Wuih, keren nih anak Flores ahli meracik kopi menjadi sedap.
Saya yang memasan kopi tadi, tentu saja merasakan harumnya kopi yang di dalam cangkir. Dalam hati, saya hanya mampu berucap, hmmmm, wangi aroma kopi itu.
Sungguh, jauh sebelum memesan kopi tadi, beberapa tahun silam penulis pernah merasakan minum kopi di Kabupaten Mandailing Natal, Â Sumatera Utara. Ketika itu penulis tengah berkunjung ke Pondok Pesantren Musthafawiyah Purba Baru. Pondok ini terletak di kabupaten Mandailing Natal dan berlokasi di desa Purba Baru, Lembah Sorik Merapi, Mandailing Natal.
Nah, di situ, penulis menum kopi bersama para santri yang tinggal di pondokan rumah-rumah kecil terbuat dari kayu. Pagi hari, kami 'nongkrong' di warung kopi tepi sungai. Kopi disuguhkan di cangkir terbut dari tempurung kelapa. Untuk mengaduk kopi yang tercampur gula, penjual kopi menyediakan kayu manis sebagai alat mengaduk kopi. Jadi, ngaduk kopi tidak menggunakan sendok tetapi menggunakan kayu manis.
Meski ada perbedaan cara menyuguhkan kopi di Mandailing Natal dan kopi yang disuguhkan Kunradus, tapi aroma kopi khas Mandailing tetap melekat di hidung. Terlebih, kopi Gmari itu saya seruput tanpa tambahan gula. Rasa pahit yang kuat makin merangsang untuk menyeruput kopi itu berulang kali dalam kondisi hangat.
Penulis tak menduga Kandarus demikian ahli menyuguhkan kopi dengan tetap menjaga keasliannya. Biasanya, jika kopi disuguhkan dengan cara menyeduh seperti kebanyakan di warung kaki lima, dapat dapat dipastikan cara itu akan mengurangi kualitas rasa dan aroma dari kopi bersangkutan.
Dari mana Kandarus belajar mengolah kopi?
 Kandarus - yang biasa dipanggil Darus itu - bekerja di Gmari ditemani seorang rekannya. Ia mengaku sudah belajar ke beberapa ahli kopi. Tapi ia tak mau menyebut secara detail, namun yang jelas animo minum kopi Gmari Nusantara di lantai dua Gedung Tamcit itu kini tergolong 'lumayan'.
Lulusan Institut Ilmu-ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta ini mengaku sudah setahun membuka Gmari Kopi Nusantara di situ. Meski ilmu yang digeluti sedikit nyebrang dari bidangnya, Darus tidak merasa gentar untuk membesarkan bisnisnya. Rejeki bisa diperoleh dan sudah ada yang mengatur. Di situ ada jalan, pintu rejeki terbuka. Itu barangkali yang mendorong Darus makin percaya diri dan mau berbagi ilmu tentang perkopian dengan penulis.
Cita rasa bagi Darus adalah menjadi sesuatu yang mahal. Kepercayaan pelanggan akan citra rasa yang dinikmati di Gmari Kopi harus dipertahankan, sehingga pelanggan tidak lari. Dan, ia pun yakin menyeruput kopi di lingkungan kawasan bisnis seperti Thamcit akan mendatangkan inspirasi bagi pelanggan.
Minum kopi di Tanah Air kini sudah membudaya. Ia melihat itu dari tradisi turun menurun di lingkungan anggota keluarganya. Terlebih lagi dari hasil penelitian JAMA Internal Medicine, yang diterbitkan melalui jurnal ilmiahnya, disebut mengonsumsi Kopi Dapat Lindungi Jantung. Temuan baru, Â mengonsumsi kopi dapat membuat hidup lebih lama.
Diperoleh penjelasan bahwa setelah para peneliti dari National Cancer Institute memeriksa 498.134 data kependudukan dan kesehatan warga Inggris, Skotlandia, dan Wales yang berusia antara 38 sampai 73 tahun. Orang yang minum dua sampai tiga cangkir kopi setiap hari memiliki 12 persen risiko kematian yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak minum kopi (Kompas.com, 3/7/2018).
Jadi, jangan ragu untuk mengonsumsi kopi. Sesekali ke Gmari Kopi untuk mengonsumsi kopi khas Nusantara tentu akan membawa kenikmatan tersendiri. Jangan anda berceloteh dan berkomentar terlalu jauh  jika belum menyeruput kopi di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H