Papa Sayang Mama, titik. Mungkin jika dikumpulkan dan dijumlahkan kalimat itu sudah puluhan dan bisa jadi sudah ratusan ribu keluar dari mulut yang hanya besarnya muat sesendok nasi.Â
Bangun pagi, kembali diucapkan. Mau tidur diucapkan. Papa sayang mama, titik. Lagi, kembali diulang di hari berbahagia ini saat Idul Fitri 1439 H/2018 M tiba. Kami hidup berbahagia.
Bahagia bukan lantaran pernikahan kami tanpa sendok dan garpu beradu di atas piring kala makan satu meja, tetapi suara itu bukanlah suara gaduh seperti banyak dipersepsikan banyak orang.Â
Bukan pula sebagai suara merdu yang mengiringi tatkala alunan takbir pada malam takbiran berkumandang, tetapi lebih sebagai suara harmoni kesejukan karena atas karunia-Nya kami pada Lebaran itu dapat berkumpul bersama anak dan besan di kediaman, yang datang jauh dari Pulau Kundur, sebuah pulau kecil berbatasan dengan Singapura.Â
Papa sayang mama, titik. Kembali diucap ulang sambil berdoa agar hati hamba dan anggota keluarga dijauhkan dari berbaliknya hati dari kasih sayang menjadi benci. Minta kepada Sang Pencipta, Allah, agar ketetapan hati tidak dibolak-balik. Dan tentu yang terpenting, seluruh anggota keluarga dapat berdoa agar selalu kehidupan rumah tangga sakinah mawadah dan waromah.Â
Kalimat papa sayang mama, titik itu entah kapan pertama kali meluncur dari mulutku ini. Apakah sebelum menikah, pasca menikah pada momentum penting, seperti saat merayakan pernikahan atau hal lain. Tapi, rasanya semua itu tidak terlalu penting saat ini. Terpenting bagiku adalah papa sayang mama, titik.Â
Pada saat Ramadhan ini ingin hati rasanya berteriak, mengajak semua insan untuk saling menyayangi antarsesama karena Rahmat Allah itu tidak selebar daun kelor. Jauhi kebencian hanya karena kepentingan sesaat, apa lagi mengejar kekuasaan dan kemudian mengabaikan Rahmat-Nya.Â
Ketika hati dibawa keluar rumah, ketika mata digiring ke pandangan realitas sekitar, hati jadi menjerit. Ramadhan yang sayogianya sebagai pengukuhan silaturahim pada tahun politik ini telah dijadikan momentum penyebar kebencian.Â
Pilu. Hanya kata itu yang mencuat keluar dari mulut. Agama yang seharusnya menjadi instrumen penguat silaturahim dan keutuhan hadirnya toleransi di tengah masyarakat telah dijadikan kemasan untuk membodohi umat.Â
Elit politik kini nampak tidak mau kehilangan panggung. Di berbagai kesempatan sibuk melontarkan ucapan dengan nada suara minor. Seolah, kini sudah memasuki fase ranah saling berbalas pantun.Â
Di tanah Melayu, pantun jauh lebih sopan disampaikan. Kala sang tokoh belepotan berucap, para pendukung sibuk meluruskan dengan kalimat maksudnya begini dan begitu.Â
Meski begitu, jangan dikira kedok mereka yang kerap berubah bagai bunglon itu sudah ditangkap dan diketahui publik.Â
Kuulangi lagi kalimat papa sayang mama, titik. Harapannya para elit politik dapat memetik hikmah Ramadhan. Bukan dijadikan momentum retorika penistaan kepada lawan politik secara membabi buta.Â
Terlebih bagi elit yang tengah berada di atas panggung. Mereka itu perlu punya kesadaran bahwa membangun keluarga inti butuh enerji dan ketulusan hati. Ingat, manakala hati "rusak" akan menggiring pada kerusakan organ fisik, sakit jiwa dan raga.Â
Karenanya penulis meyakini, hanya dari keluarga-keluarga yang harmonis itulah silaturahim antarsesama dapat menguatkan toleransi. Harapannya, tentu bermuara kepada penguatan anak bangsa dalam wadah NKRI.
Â
Selamat Idul Fitri 1439 H
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H