Meski Lebaran 2018 masih lama, namun aromanya sudah terasa di Stasiun Kereta Api Gambar pada Ramadan ini. Hal itu ditandai dari tampilan fisik stasiun kereta api (KA) terbesar itu yang kini terlihat makin cantik.
Ya, stasiun ini telah bersolek untuk menyambut para pemudik yang akan merayakan Idul Fitri di kampung halamannya.
Penulis merasa kaget menyaksikan stasiun yang terletak di Jakarta Pusat, tepatnya di sebelah timur Monumen Nasional serta terhubung akses jalan menuju Monas itu. Boleh jadi hal itu disebabkan penulis kala bepergian sering menggunakan bus dan pesawat, sementara untuk menggunakan angkutan massal cepat seperti KA sudah lama ditinggalkan.
Maklum orang udik. Sebab, di kampung kedua penulis di Kalimantan Barat sana tidak dijumpai kereta. Namun ketika masih kecil sering sih menikmati lajunya kereta barang di depan Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta.
Dulu, ketika masih bau kencur dan sebelum pasar induk beras di kawasan itu dibangun, banyak kereta barang ditempatkan di situ, tempat langsirnya kereta diparkir.
Sebelum kereta ini dibawa keluar kota, masinis menata gerbong kereta yang telah disesaki barang seperti kayu, semen dan batu bara. Saat itu, kereta yang digunakan bukan disel. Lokomotifnya menggunakan bahan bakar batu bara.Â
Saking senangnya, saat Ramadan, penulis sering numpang kereta yang tengah ditata dan dibentuk dalam satu rangkaian untuk dibawa ke luar kota. Satu per satu gerbong kereta melaju.
Nah, saat puasa ini, penulis menyaksikan Stasiun KA Gambir telah banyak mengalami perubahan. Bolahlah dinilai stasiun ini sudah menyerupai bandara, ya mendekati bandara yang ada di wilayah Indonesia Timur itu loh.Â
Penulis pun pernah menyaksikan stasiun ini direnovasi pada 1992. Sebelumnya rel terletak di atas permukaan tanah. Setelah itu diubah bersama stasiun KA lainnya di ruas Manggarai-Jakarta Kota, menjadi jalur layang. Setelah itu nggak macet lagi deh di Jalan Kebon Sirih dan Merdeka Selatan, karena perlintasan pintu KA tidak ada lagi.
Entah kapan stasiun ini tidak digunakan lagi sebagai pemberhentian bagi KRL Commuter Line. Pemberhentian mengambil tempat di stasiun Gondangdia dan Juanda. Tapi sistem boarding pass tetap diberlakukan pihak PT KAI.
Stasiun ini memang punya sejarah panjang. Berawal dari Halte Koningsplein (Halte Lapangan Raja). Halte kereta api ini terdapat beberapa ratus meter di selatan dari tempat Stasiun Gambir kini berada.
Halte itu kemudian digantikan oleh Stasiun Weltevreden, dibuka pada 4 Oktober 1884 di tempat Stasiun Gambir kini berada. Sampai 1906, jadi stasiun pemberangkatan untuk tujuan Bandung dan Surabaya.Â
Pada tahun 1928, Â stasiun diperbesar dan satu tahun kemudian mengalami perubahan besar-besaran di mana tampak luar bangunan dengan gaya art deco. Atap penutup diperpanjang pada tahun 1928 hingga ke sisi utara sepanjang 55 meter. Kemudian, pada tahun 1937 stasiun itu diresmikan sebagai Stasiun Batavia, lantas nama stasiun ini diganti menjadi Gambir.
Kartu itu selain bisa digunakan untuk parkir, juga bisa digunakan untuk transaksi di pintu gerbang tol elektronik (GTO).
Lainnya lagi adalah sejumlah restoran siap saji di dalam stasiun itu. Ada juga restoran ala nusantra dengan tampilan modern. Gayanya, wah dan mewah. Tapi soal harga, ya terjangkaulah.
Tapi, di kawasan ini, jangan coba-coba mencari makanan kelas pinggir jalan ala warung nasi tegal (warteg), karena sudah tidak ada lagi.
Stasiun KA Gambir memang cantik, sudah memoles wajah. Dalam menyambut para pemudik kini yang dibutuhkan adalah rasa nyaman dan aman. Maklum, penulis masih trauma dengan pencopetnya, yang bergentayangan ketika masih kecil di kawasan itu.
Dulu, kelihaian copet mengambil dompet di saku demikian cepat. Sekarang sih nampaknya tidak ada lagi. Tapi, tetap waspada sih mesti dikedepankan.
Catatan: sumber bacaan satu, dua dan wawancara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H