Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Aroma Mudik Sudah Terasa di Stasiun KA Gambir

24 Mei 2018   18:10 Diperbarui: 24 Mei 2018   18:29 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Gambir (Dokumentasi Pribadi)

Meski Lebaran 2018 masih lama, namun aromanya sudah terasa di Stasiun Kereta Api Gambar pada Ramadan ini. Hal itu ditandai dari tampilan fisik stasiun kereta api (KA) terbesar itu yang kini terlihat makin cantik.

Ya, stasiun ini telah bersolek untuk menyambut para pemudik yang akan merayakan Idul Fitri di kampung halamannya.

Penulis merasa kaget menyaksikan stasiun yang terletak di Jakarta Pusat, tepatnya di sebelah timur Monumen Nasional serta terhubung akses jalan menuju Monas itu. Boleh jadi hal itu disebabkan penulis kala bepergian sering menggunakan bus dan pesawat, sementara untuk menggunakan angkutan massal cepat seperti KA sudah lama ditinggalkan.

Selamat datang di gambir. Foto | Dokpri
Selamat datang di gambir. Foto | Dokpri
Jadi, sudah lama tak mampir di stasion KA.

Maklum orang udik. Sebab, di kampung kedua penulis di Kalimantan Barat sana tidak dijumpai kereta. Namun ketika masih kecil sering sih menikmati lajunya kereta barang di depan Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta.

Dulu, ketika masih bau kencur dan sebelum pasar induk beras di kawasan itu dibangun, banyak kereta barang ditempatkan di situ, tempat langsirnya kereta diparkir.

Sebelum kereta ini dibawa keluar kota, masinis menata gerbong kereta yang telah disesaki barang seperti kayu, semen dan batu bara. Saat itu, kereta yang digunakan bukan disel. Lokomotifnya menggunakan bahan bakar batu bara. 

Saking senangnya, saat Ramadan, penulis sering numpang kereta yang tengah ditata dan dibentuk dalam satu rangkaian untuk dibawa ke luar kota. Satu per satu gerbong kereta melaju.

Gambir nyaman. Foto | Dokpri
Gambir nyaman. Foto | Dokpri
Konyolnya, lokomotif kadang melepas batu bara yang masih menyala dan terinjak. Wuih, panas dan akhirnya harus ke dokter berobat karena telapak kaki luka.

Nah, saat puasa ini, penulis menyaksikan Stasiun KA Gambir telah banyak mengalami perubahan. Bolahlah dinilai stasiun ini sudah menyerupai bandara, ya mendekati bandara yang ada di wilayah Indonesia Timur itu loh. 

Penulis pun pernah menyaksikan stasiun ini direnovasi pada 1992. Sebelumnya rel terletak di atas permukaan tanah. Setelah itu diubah bersama stasiun KA lainnya di ruas Manggarai-Jakarta Kota, menjadi jalur layang. Setelah itu nggak macet lagi deh di Jalan Kebon Sirih dan Merdeka Selatan, karena perlintasan pintu KA tidak ada lagi.

Entah kapan stasiun ini tidak digunakan lagi sebagai pemberhentian bagi KRL Commuter Line. Pemberhentian mengambil tempat di stasiun Gondangdia dan Juanda. Tapi sistem boarding pass tetap diberlakukan pihak PT KAI.

Stasiun ini memang punya sejarah panjang. Berawal dari Halte Koningsplein (Halte Lapangan Raja). Halte kereta api ini terdapat beberapa ratus meter di selatan dari tempat Stasiun Gambir kini berada.

Halte itu kemudian digantikan oleh Stasiun Weltevreden, dibuka pada 4 Oktober 1884 di tempat Stasiun Gambir kini berada. Sampai 1906, jadi stasiun pemberangkatan untuk tujuan Bandung dan Surabaya. 

Pada tahun 1928,  stasiun diperbesar dan satu tahun kemudian mengalami perubahan besar-besaran di mana tampak luar bangunan dengan gaya art deco. Atap penutup diperpanjang pada tahun 1928 hingga ke sisi utara sepanjang 55 meter. Kemudian, pada tahun 1937 stasiun itu diresmikan sebagai Stasiun Batavia, lantas nama stasiun ini diganti menjadi Gambir.

Masuk ke stasiun lebih tertib. Foto | Dokpri
Masuk ke stasiun lebih tertib. Foto | Dokpri
Stasiun KA Gambir yang kita kenal sekarang, sudah berbenah menyambut keberangkatan pemudik dan arus balik. Kesiapan itu makin jelas dari pembenahan sistem perparkiran, yang tidak lagi menggunakan uang tunai tetapi menggunakan kartu uang elektronik yang populer disebut KUE.

Kartu itu selain bisa digunakan untuk parkir, juga bisa digunakan untuk transaksi di pintu gerbang tol elektronik (GTO).

Lainnya lagi adalah sejumlah restoran siap saji di dalam stasiun itu. Ada juga restoran ala nusantra dengan tampilan modern. Gayanya, wah dan mewah. Tapi soal harga, ya terjangkaulah.

Tapi, di kawasan ini, jangan coba-coba mencari makanan kelas pinggir jalan ala warung nasi tegal (warteg), karena sudah tidak ada lagi.

Stasiun KA Gambir memang cantik, sudah memoles wajah. Dalam menyambut para pemudik kini yang dibutuhkan adalah rasa nyaman dan aman. Maklum, penulis masih trauma dengan pencopetnya, yang bergentayangan ketika masih kecil di kawasan itu.

Dulu, kelihaian copet mengambil dompet di saku demikian cepat. Sekarang sih nampaknya tidak ada lagi. Tapi, tetap waspada sih mesti dikedepankan.

Catatan: sumber bacaan satu, dua dan wawancara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun