Jangan mengaku sebagai warga Kalimantan Barat (Kalbar) apabila tidak mengenal ritual etnis Melayu di kota Mempawah. Eh, maaf, penulis kok jadi lancang mulut? Saya tidak punya hak mengatakan itu. Sebab, sekarang ini bukan lagi warga di provinsi itu meski punya ikatan emosional lantaran pernah minum aek Sungai Kapuas.
Tapi memang sungguh kelewatan sih jika tidak tahu apa itu Robo-Robo.
Beberapa tahun silam, kala menjadi warga Pontianak, setiap tahun tidak membuang kesempatan untuk menyaksikan Festival Robo-Robo. Sejak pagi hingga petang warga Kalbar tumpah ruah di tepi muara Sungai Kakap. Saat itu bertepatan dengan hari Rabu.
Bagi etnis Melayu di situ, acara tersebut merupakan pesta budaya tahunan sebagai pertanda berdirinya Kerajaan Amantubillah, di kota Mempawah.
Bagi sebagian warga Kalbar, Robo-Robo dimaknai juga sebagai upacara tolak bala. Upacara ini digelar pada hari Rabu pekan terakhir bulan Safar, Hijriah.
Bersamaan dengan itu, digelar pula kegiatan yang menarik perhatian masyarakat seperti lomba sampan. Dan pesta budaya tradisional bagi kerajaan Mempawah, Kabupaten Pontianak, selalu juga dimeriahkan iringan musik hadrah dan tarian khas Melayu, yaitu Japin.
Memenuhi persyaratan admin SaatnyaKalimantan dan KabarDariSeberang ini, penulis ingin menyampaikan bahwa pada saat itu kota Mempawah terasa meriah. Warga setempat sibuk menyambut para tamu terhormat. Apa lagi menjelang tengah hari. Sebab, warga dari penjuru kota makin banyak, membludak. Ditambah lagi hadirnya penjual manakan khas dan permainan adu ketangkasan di tepi sungai.
Biasanya, dalam acara itu, hadir utusan dari Kerajaan Brunei Darussalam dan para kerabat kesultanan dari negeri jiran terdekat, Malaysia.
Robo-Robo adalah acara ritual pesta adat tahunan. Rutin setiap tahun sebagai ajang meningatkan solidaritas rumpun Melayu. Acara itu memang kuat dijadikan sebagai ajang pariwisata sekaligus sebagai sumber pendapatan masyarakat lokal. Dan, namanya juga ritual tahunan bagi adat masyarakat setempat atas penghormatan terhadap para kerabat Keraton Amantubillah Mempawah.
Biasanya, kegiatan pokok diawali dengan khaul atau peringatan hari mangkatnya Opu Daeng Manambon pada Selasa malam di Keraton Amantubillah.
Dari sudut historis, Kesultanan Mempawah dikenal pasca kedatangan rombongan Opu Daeng Menambun dari kerajaan Matan, Tanjungpura, ke Sebukit Rama, Mempawah Lokasi Istana Amantubillah yang sekarang, sekitar tahun 1737 M. Eksistensinya kian diperhitungkan di kancah internasional setelah Opu Daeng Menambun dengan gelar pangeran Mas Surya Negara naik tahta menggantikan Sultan Senggauk pada tahun 1740 M.
Apalagi pada masa pemerintahannya, Habib Husein Alkadri, mantan hakim agama di kerajaan Matan, pindah ke Kesultanan Mempawah. Maka, orang pun kemudian berbondong-bondong datang ke Mempawah tidak hanyak untuk melakukan kontak dagang atau kontrak politik, tapi juga untuk mempelajari dan mendalami agama Islam.
Istana Amantubillah dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adi wijaya Kesuma (1761-1787), sultan ke-3 kesultanan Mempawah. Pada tahun 1880 M, istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika diperintah oleh Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syauddin (1864-1892), sultan ke-9 Kesultanan Mempawah.
Renovasi terhadap bangunan Istana Amantubillah kemudian dilakukan hingga Istana Amantubillah dapat berdiri kembali pada tanggal 2 November 1922 ketika diperintah oleh Gusti Muhammad Tauk Accamaddin (1902-1943), sultan ke-11 Kesultanan Mempawah.
Kerabat keraton ini memiliki pertalian kuat dengan Kesultanan Kadriyah Pontianak, yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie. Ia adalah seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah. Pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) ia membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar.
Di Mempawah dan Pontianak, penulis mengenal beberapa tokoh dari kedua keraton tersebut. Berbagai peninggalan benda bersejarah --yang jarang diperlihatkan ke publik seperti keris dan benda pusaka lainnya-- dapat dilihat langsung. Itulah untungnya menjaga silaturahim.
Seperti juga acara keagamaan lainnya, usai perayaan Robo-Robo disusul doa tolak bala dan doa keselamatan bagi masyarakat setempat. Terakhir dilanjutkan dengan ziarah napak tilas, dengan maksud mengenang kembali jasa pendiri Kerajaan Mempawah, Opu Daeng Manambon.
Kini "zaman now" dan perubahan demikian menyolok antargenerasi. Namun kita patut bersyukur, warga Kalbar masih memegang adat Melayu.
Catata: sumber bacaan satu, dua dan catatan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H