Sudah satu pohon pisang mati tanpa permisi. Kuhajar pohon segar yang disayangi Tuhan itu tanpa alasan. Belum puas? Rerumputan di halaman luas di kawasan Ngabang, Kalimantan Barat, itu jadi sasaran.Â
Kuhunjamkan tinju ke permukaan bumi. Tanah pun mengering dan rumput yang semula  kupandangi elok nan hijau berubah gersang. Hati bergejolak. Tapi tangan tak kuasa menahan beban panas. Kukepret jari tangan bekas ditaburi air keras, pagar seng bangunan proyek jadi sasaran. Terkena cipratan air keras dari tangan, ya tentu bolonglah.
Lengan ke dua tangan masih terasa panas. Sang guru memerintahkan kepada diriku untuk meminta ampunan kepada Sang Pencipta. Aku telah membuat kesalahan, tidak mengindahkan petuah. Aku telah menganiaya dan membuat kerusakan di muka bumi.
Sang guru memerintahkan diriku untuk mengulangi proses pendalaman "ngelmu" kesaktian. Kedua tangan kembali diguyur air keras dan tumbukan cabe rawit yang beratnya kurang lebih satu kilogram.
Lagi. Kembali tangan makin panas. Petuah harus diindahkan. Tak boleh rasa panas disalurkan ke permukaan bumi, atau pun menghunjamkan pukulan ke pohon pisang seperti semua. Semua harus dijalani sambil membayangkan diri betapa kecil diri ini di hadapan Tuhan.
Tidak ada kekuatan, kecuali semua itu milik-Nya. Karenanya, sambil menikmati rasa sakit yang demikian dahsyat, hati harus terus menerus diarahkan kepada Sang Khalik bahwa semua kekuatan di permukaan bumi adalah milik-Nya juga.
**
Belajar "ngelmu" seperti itu memang tidak dibenarkan dilakukan di muka publik, apa lagi terbuka dan disaksikan banyak orang. Apa lagi saat itu, mulai 1995 - 2001, di bumi Kalimantan Barat, tengah penuh diwarnai pertikaian antaretnis. Di sana ada kelompok 'kamu' dan di sini ada kelompok 'saya', semua seperti tengah mempersiapkan diri untuk bertarung dan dibenturkan suatu saat.
Apa pun profesinya: tentara, polisi, kuli bangunan, penjaga toko hingga pengusaha dari tiap etnis sepertinya belajar ilmu bela diri secara sembunyi-sembunyi. Meski pada saat itu sudah banyak orang mempelajar  ilmu silat, karate, yudo dan lainnya tetapi terasa tidak laku. Orang tidak tertarik.
Apa pasal? Ya, karena yang dihadapi dunia 'mistik'. Sebutan panglima burung saat itu demikian melegenda. Orang bisa terbang yang sulit ditangkap nalar sangat dipercayai. Demikian pula daya penciuman masyarakat pedalaman terhadap etnis yang dimusuhi terasa demikian nyata di depan mata.
Wuih. Kalau nggak belajar "ngelmu" pasti diri tak bakal selamat. Bukankah menjaga diri itu wajib, demikian ungkapan warga pesisir ketika mereka tengah belajar kanuragan, yaitu ilmu yang mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa.