Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

ASN di Pilkada 2018, "Dibetot" Kiri dan Kanan

7 Mei 2018   16:03 Diperbarui: 7 Mei 2018   16:28 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imbauan ASN harus netral. Foto | Dokpri

Di era Orde Baru, setiap pegawai negeri sipil (PNS) ditekankan tetap konsisten dengan monoloyolitas, sebagai kesetiaan yang tidak terbagi; kesetiaan tunggal (terhadap satu orang, perkumpulan, negara, dan sebagainya).

Loyal di sini adalah kesetiaan bagi setiap pegawai negeri sipil, sekarang disebut Aparatur Negeri Sipil (ASN), terhadap pemerintah yang berkuasa.

Di berbagai kesempatan, pejabat dari pegawai negeri sipil selalu berbicara dengan menyisipkan kata monoloyalitas. Kata monoloyalitas menjadi sakral karena dapat dijadikan tolok ukur bagi setiap pejabat, mulai eselon IV hingga I dan pegawai fungsionalnya dalam menyukseskan dan melanggengkan kekuasaan pemerintah saat itu.

Pada saat itu pula, setiap pejabat pegawai negeri sipil memang ada yang seperti "terbebani" untuk menyosialisasikan kata monoloyalitas dan makna yang terkandung dengan segala maksudnya. Tapi ada yang merasa menikmati karena dapat bagian "kue" kekuasaan.

Di lingkungan Badan Administrasi Kepegawaian Negara (BAKN) -- sekarang dikenal BKN -- , misalnya, ketika dipimpin Arsinius Elias Manihuruk (AE Manihuruk) diberlakukan aturan keras. Ia sangat keras sekali jika menjumpai pegawai di institusinya sedikit membelot.

Namun jangan dikira, disiplin yang tinggi kepada anak buahnya telah "terbayar" dengan ia memperhatikan kesejahteraan.  Seorang rekannya, Berlin Simarmata, menyebut, di kampung beliau dikenal sebagai seorang pejuang. Ia awalnya adalah seorang guru, kemudian masuk TNI pada masa perjuangan. Disamping pejuang, ia dikenal sebagai seorang yang berhati baik, suka menolong orang kampung dalam batas-batas kemampuannya.

Karenanya, dari berbagai penuturan yang diperoleh penulis, AE Manihuruk dapat dikenal sebagai pejabat  "sukuisme" dalam arti yang positif.  Sebab, dulu, setiap orang Batak yang melamar ke BAKN 90 persen pasti diterima, demikian pula jika melamar pegawai negeri, AE Manihuruk pasti membuntu.

Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani, melepas peserta jalan sehat dalam rangka kampanye damai di Lapangan Sepak Bola Kelurahan Salassa, Kecamatan Baebunta, Minggu (18/2/2018). Foto | TribunLutra.com
Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriani, melepas peserta jalan sehat dalam rangka kampanye damai di Lapangan Sepak Bola Kelurahan Salassa, Kecamatan Baebunta, Minggu (18/2/2018). Foto | TribunLutra.com
Wah, jika sekarang 'main' suku-suku-an dalam melamar ASN, bisa jadi negara ini bukan RI lagi. Apa lagi di beberapa departemen sangat terasa sekali. Dulu ada stigma, jika masuk ke departemen anu, pasti di situ 'banyak neon' dan lapangan. Sebab, menterinya dari Sumatera Barat.

Dulu, jika melamar ke BAKN, si pelamar cukup menyebut dan menggunakan alamat rumah AE Manihuruk, Jalan Borobudur Jakarta. Seperti sudah ada kesepakatan dari petugas, orang bersangkutan dapat diterima lamarannya. Itu sebabnya, di masa dia menjabat, banyak orang Batak yang menjadi pegawai negeri.

Karier AE Manihuruk dimulai dari tentara hingga pangkat terkahir Letnan Jenderal. Ia  meninggal pada usia 82 tahun, pada hari Jumat (10/1) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. AE Manihuruk juga sangat ramah dengan penulis. Namun jangan coba-coba bicara politik dan mendukung partai lain. Bagi dia, saat itu, memilih Golkar adalah bagian dari monoloyalitas.

Gambaran kesetiaan kepada penguasa tunggal saat itu, ternyata juga berkembang ke seluruh departemen (kementerian). Di setiap perusahaan-perusahaan berpelat 'merah' atau BUMN ditempatkan orang-orang yang memiliki kesetiaan kepada penguasa. Termasuk juga beberapa institusi pers, berada di bawah kendali Departemen Penerangan yang menterinya saat itu Harmoko.

Harmoko, dalam catatan sejarah, memang dikenal sebagai wartawan yang banyak menyuarakan dukungan kepada Pak Harto, atau Soeharto, presiden kedua di negeri ini.

**

Bagaimana dengan sekarang, ASN tetap menjadi 'rebutan'. Ya, rebutan. Di Jakarta memang, di sejumlah kementerian, memang tidak terasa. Tetapi di daerah, wuih, luarrr biasa. Pejabat mulai setingkat RT, RW hingga lurah menjadi bahan garapan para pendukung partai politik (parpol).

Partai saat ini telah memetakan, wilayah mana yang dapat dijadikan 'lumbung' suara dan daerah mana lagi yang masih 'abu-abu' untuk digarap. Cara yang ditempuh, tidak sulit, salah satunya menempatkan orang partai ikut 'nimbrung' di warung kopi setiap hari. Maklum, di daerah, ASN paling suka masuk warung kopi sebelum bekerja.

Saat obrolan tengah berlangsung, mereka menebarkan pengaruh. Kadang, ketika pembicaraan di warung kopi tengah berlangsung, mereka nampak 'kedoknya' karena pembicaraannya membawakan suara partai. Mereka 'ngotot' melakukan pembelaan ketika partainya, misalnya sebagai partai korup.

Kadang mereka itu ikut-ikutan seperti pembicara di televisi. Mengutip kata 'ngibul', setan, bangsat dan kaleng rombeng. Pokoknya, seru deh.

Dapatkah ASN netral. Kita nantikan saat pencoblosan di kotak suara. Foto | Dokpri
Dapatkah ASN netral. Kita nantikan saat pencoblosan di kotak suara. Foto | Dokpri
Hal serupa juga terjadi di berbagai tempat dan kesempatan. Misal, di lingkungan majelis ta'lim, pertemuan informal di lingkungan RT hingga kelurahan. Cuma bedanya, di lingkungan ini cara penyampaiannya halus, tidak terjadi 'ngotot-ngototan'. Apa lagi perdebatan yang ditampilkan seperti di stasiun televisi.

Memang sungguh tepat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPan-RB), Asman Abnur, menekankan pentingnya para ASN bekerja profesional. ASN tidak boleh terbawa arus politik pada Pilkada serentak 2018.

Namun ia pun minta Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) memberi sanksi tegas bagi ASN yang melanggar jika benar-benar terbukti. Ya, sanksi tegas mulai dari tingkat ringan berupa pemotongan tunjangan kerja atau penurunan jabatan hingga sanski berat yakni ASN dikeluarkan.

Benar, terpenting, ASN jangan terpengaruh dengan urusan politik. Jika itu terjadi, jual beli jabatan di lingkungan birokrasi ke depan akan semakin marak. Ujungnya, berdampak kepada penurunan kualitas layanan publik.

Pilkada harusnya juga makin mendorong negeri ini makin mengembangkan demokrasi yang sehat. Membawa anak negeri semakin sejahtera. Bukan untuk melahirkan bandit dan memotong hak ASN, apa lagi membuat rakyat menderita.

Catatan: Sumber bacaan: Satu, Dua dan Tiga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun