Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ceramah Politik di Rumah Ibadah Menghadapi "Macan Ompong"?

28 April 2018   22:00 Diperbarui: 28 April 2018   22:30 1124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun lalu, kala Pilgub DKI Jakarta berlangsung, ada seorang khatib Jumat di Masjid kawasan Kosambi, yang berada di lingkungan sekolah, bicara politik dengan nada keras. Intinya, ia minta agar seluruh anggota Jemaah shalat tersebut tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin di Jakarta.

Sudah tentu, kafir yang dimaksud adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sang khatib mengeluarkan argumentasi dan sejumlah hadist sebagai penguat mengapa ia menganjurkan untuk tidak memilih orang kafir.

Selama khatib menyampaikan pesan politiknya, praktis waktunya dihabiskan untuk pesan-pesan politik terkait Pilgub orang nomor satu di Jakarta itu.

Tidak mustahil peristiwa itu juga terjadi di beberapa rumah ibadah atau pun masjid lainnya. Kebetulan penulis singgah di situ dan ikut shalat Jumat.

Usai shalat Jumat, penulis berfikir pesan-pesan politik yang disampaikan tersebut bakal membuahkan persoalan. Minimal, si khotib Jumat tadi, akan dimintai keterangannya oleh pihak berwajib. Terlebih lagi ia tidak menyampaikan pesan tuntunan bagi umat sebagaimana kebanyakan shalat jumat -- sesuai rukun-rukunya - , tetapi lebih kepada upaya menggiring umat untuk menolak menjatuhkan pilihan kepada si orang kafir.

Realitasnya, si khotib tadi dapat jalan melenggang usai shalat Jumat bubar. Bahkan, ia mendapat apresiasi oleh sebagian orang yang disaksikan anggota Jemaah lainnya dengan senyum-senyum.

Mirip-mirip dengan peristiwa tersebut, belakangan ini, politisi "ulung" Amien Rais memberikan ceramah di Balai Kota DKI, Selasa (24/4/2016). Bahkan ia menyebut, pengajian harus disisipi politik. Sayangnya, Amien tidak menjelaskan secara gamblang mengapa pengajian harus disisipi politik.

Jadi, majelis taklim, lembaga pendidikan -- boleh jadi menurut Amien -- sangat dibenarkan disisipi politik. Jika saja politik sebagai pembelajaran dan pencerahan, mungkin sebagian umat masih bisa memahami. Tapi bila menyangkut politik praktis, tentu akan menimbulkan perdebatan.

Soal pimpinan atau tokoh agama menyampaikan pesan politik di rumah ibadah sesungguhnya bukan hal baru di negeri ini.  

Agama sebagai instrumen politik dalam rangka meraih suara terbanyak setiap kali pemilu sudah sering terjadi. Dan, agamalah yang paling mudah dijadikan isu, selain tidak butuh modal besar bagi para politisi. Sayangnya, belakangan ini rumah ibadah seperti masjid telah dimanfaatkan untuk mendukung kandidat yang bertarung dalam pemilu.

Sayogianya para pemuka agama dapat mensosialisasikan fungsi masjid. Fungsi masjid memang bukan sekedar tempat sujud (shalat), tapi juga sebagai tempat atau bangunan untuk berbagai aktivitas umat yang menggambarkan kepatuhan kepada Sang Maha Pencipta. Termasuk kegiatan sosial, pendidikan, kesehatan dan amal zariah.

Bisa jadi, jika masjid dijadikan sebagai tempat kampanye akan berpotensi menuai persoalan. Sejauh ini baik kelompok pendukung dan penentang masih bisa dikendalikan oleh aparat, sehingga konflik horizontal tidak terjadi.

Sungguh tepat ajakan Menteri  Agama Lukman Hakim Saifuddin yang melarang ceramah agama disisipi politik pratis, demi menghindari konflik antar-jemaah maupun masyarakat. Ceramah dengan politik praktis terjadi ketika penceramah menganjurkan untuk memilih presiden A dan jangan memilih presiden B, atau menggiring jemaah memilih partai A dibandingkan partai B.

Tentu saja jika jika ceramah diisi dengan politik yang bersifat substantif terkait penegakan keadilan dan kejujuran, misalnya pemenuhan hak-hak dasar manusia, perlindungan hak asasi manusia, mencegah kemungkaran, hal itu sangat dibolehkan.

Sayangnya, jika penceramah seperti peristiwa di atas, politik praktis, dan benar-benar terjadi hingga kini tak pernah terdengar tindakan nyata. Pernyataan Amien Rais yang menyebut pengajian harus disisipi politik ke depan akan menjadi pembenaran di kalangan akar rumput.

Karenanya, penting ke depan bahwa ajakan Lukman Hakim harus diperluas dengan pemberian sanksi tegas bagi pelakunya. Tidak cukup hanya berupa imbauan. Seluruh pemangku kepentingan terkait perlu memberi dukungan.

Hal itu dimaksudkan untuk menyingkirkan kesan jika yang berbuat itu orang partainya sendiri didiamkan, tapi bila menyangkut lawan politiknya lalu pelakunya diberengus. Dengan sebutan lain, dikriminalisasi. Jika hal itu terus terjadi, maka imbauan Menteri Agama itu hanya jadi macan ompong saja.

Salam demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun