Tahun lalu, kala Pilgub DKI Jakarta berlangsung, ada seorang khatib Jumat di Masjid kawasan Kosambi, yang berada di lingkungan sekolah, bicara politik dengan nada keras. Intinya, ia minta agar seluruh anggota Jemaah shalat tersebut tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin di Jakarta.
Sudah tentu, kafir yang dimaksud adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sang khatib mengeluarkan argumentasi dan sejumlah hadist sebagai penguat mengapa ia menganjurkan untuk tidak memilih orang kafir.
Selama khatib menyampaikan pesan politiknya, praktis waktunya dihabiskan untuk pesan-pesan politik terkait Pilgub orang nomor satu di Jakarta itu.
Tidak mustahil peristiwa itu juga terjadi di beberapa rumah ibadah atau pun masjid lainnya. Kebetulan penulis singgah di situ dan ikut shalat Jumat.
Usai shalat Jumat, penulis berfikir pesan-pesan politik yang disampaikan tersebut bakal membuahkan persoalan. Minimal, si khotib Jumat tadi, akan dimintai keterangannya oleh pihak berwajib. Terlebih lagi ia tidak menyampaikan pesan tuntunan bagi umat sebagaimana kebanyakan shalat jumat -- sesuai rukun-rukunya - , tetapi lebih kepada upaya menggiring umat untuk menolak menjatuhkan pilihan kepada si orang kafir.
Realitasnya, si khotib tadi dapat jalan melenggang usai shalat Jumat bubar. Bahkan, ia mendapat apresiasi oleh sebagian orang yang disaksikan anggota Jemaah lainnya dengan senyum-senyum.
Mirip-mirip dengan peristiwa tersebut, belakangan ini, politisi "ulung" Amien Rais memberikan ceramah di Balai Kota DKI, Selasa (24/4/2016). Bahkan ia menyebut, pengajian harus disisipi politik. Sayangnya, Amien tidak menjelaskan secara gamblang mengapa pengajian harus disisipi politik.
Jadi, majelis taklim, lembaga pendidikan -- boleh jadi menurut Amien -- sangat dibenarkan disisipi politik. Jika saja politik sebagai pembelajaran dan pencerahan, mungkin sebagian umat masih bisa memahami. Tapi bila menyangkut politik praktis, tentu akan menimbulkan perdebatan.
Soal pimpinan atau tokoh agama menyampaikan pesan politik di rumah ibadah sesungguhnya bukan hal baru di negeri ini. Â
Agama sebagai instrumen politik dalam rangka meraih suara terbanyak setiap kali pemilu sudah sering terjadi. Dan, agamalah yang paling mudah dijadikan isu, selain tidak butuh modal besar bagi para politisi. Sayangnya, belakangan ini rumah ibadah seperti masjid telah dimanfaatkan untuk mendukung kandidat yang bertarung dalam pemilu.
Sayogianya para pemuka agama dapat mensosialisasikan fungsi masjid. Fungsi masjid memang bukan sekedar tempat sujud (shalat), tapi juga sebagai tempat atau bangunan untuk berbagai aktivitas umat yang menggambarkan kepatuhan kepada Sang Maha Pencipta. Termasuk kegiatan sosial, pendidikan, kesehatan dan amal zariah.