Benarkah para birokrat di daerah rajin melakukan lobi politik? Atau, dengan sebutan lain, birokrat melakukan pendekatan dan merayu pimpinan partai politik guna menduduki jabatan tinggi di lingkungan daerah?
Awalnya, penulis tidak yakin tentang adanya lobi yang dimainkan kalangan birokrat untuk mendapatkan jabatan 'bergengsi'. Sebab, jabatan adalah sebuah amanah. Apa lagi bagi pegawai negeri atau ASN, cari posisi jabatan bisa membuat diri terjerembab kalau 'baju dan badan tidak pas".
Namun baru tersadar ketika ingat peristiwa Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini yang memainkan praktik suap pada pengisian jabatan di kabupatennya. Bahkan, disebut bahwa perisitwa itu merupakan tradisi yang telah berjalan selama bertahun-tahun. Uang suap itu diubah dengan terminologi 'uang syukuran'.Â
Penulis tak ingin mengulas kasus Bupati Klaten. Yang jelas, putusan sidang kasus suap terhadap Bupati Klaten nonaktif Sri Hartini berakhir dramatis. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang menjatuhkan vonis 11 tahun terhadap Sri.
Mereka menilai politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu terbukti terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi terkait jabatan pada tahun anggaran 2016-2017. Dari praktik uang suap dan gratifikasi, Sri mendapat uang hingga mencapai Rp12,887 miliar. Wuih, gede bener tuh duitnya.
Tentu saja, dan saya tidak yakin, kejadian di depan mata bagi Humas Kemenag itu tak bakal muncul di laman kementerian itu. Namun bagus bagi masyarakat untuk mengetahuinya. Ini kan era keterbukaan. Iya, kan?
Pada unjuk rasa berlangsung, arus lalu lintas sedang tidak padat. Hanya beberapa pengendara saja yang melintas merasa terganggu. Petugas dari jajaran kepolisian jumlahnya cukup banyak dan suara orasi pengunjuk rasa mendapat perhatian orang yang tengah melintas.
Rasanya aneh, kok unjuk rasa hanya diikuti tidak lebih lima orang. Penulis menduga, tak mungkinlah mengerahkan massa dalam jumlah besar dari Ternate ke Jakarta. Ketika penulis bertanya kepada pembawa sepanduk berisi tuntutan, sang pembawa sepanduk mengaku bukan sebagai peserta. Ia hanya ditugasi, atau pesuruh membawa sepanduk yang dibentangkan di sisi mobil bak terbuka bermuatan  pembawa orasi dan peralatan pengeras suara yang 'gede-gede', suaranya pun menggelegar.
Pengunjuk rasa menyampaikan tuntutan cukup serius. Setidaknya hal itu dapat terilihat dari perencanaan yang mereka buat. Pengunjuk rasa menamakan diri Dewan Pimpinan Daerah Lembaga Pengawasan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LPP - TIPIKOR) Provinsi Maluku Utara.
Dalam lembaran pernyataan sikapnya, isi lembaran pernyataan sikap disusun demikian apik. Â Organisasi yang beralamatkan di Jalan Batu Angus Kelurahan Dufa - Dufa Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate itu, mengungkap adanya lobi politik dengan salah satu partai (di daerah itu). Â Â