Para Aparatur Negeri Sipil (ASN) --mulai dari pusat hingga daerah, mulai dari Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), para dosen dan guru besar, para kiai pengasuh pondok pesantren hingga para santri-- terbelalak, bengong dan terkaget-kaget mendengar Kementerian Agama (Kemenag) yang selama ini menaunginya disebut bang**t.
Ada yang memberi reaksi keras, bahwa kementerian itu sepatutnya dijaga marwahnya. Kehormatannya terasa kini dicampakkan. Jika saja para kiai diizinkan Allah, mereka akan minta hadir di muka bumi ini lagi. Sebab, lembaga yang dihina itu hadir atas perjuangan para kiai, ulama dan tokoh di republik ini. Kok, sekarang, dicap sebagai bang**t. Adakah yang aneh, sehingga harus dicaci oleh seorang anggota dewan terhormat.
"Saya satu komisi satu bulan sama (kasus First Travel) ini, Pak. Ini masalah dapil, Pak. Yang dicari jangan kayak tadi Bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak. Ini Kementerian Agama bang**t, Pak, semuanya, Pak," kata Arteria Dahlan kepada Prasetyo.
Ucapan itu muncul lantaran kementerian itu selalu terlambat menangani Jemaah umrah terlantar sebagai akibat travel nakal. Ucapan tersebut didorong karena ia hendak memperjuangkan nasib calon jemaah umrah yang gagal berangkat.
Pada rapat yang digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3/2018), anggota Komisi II DPR, Arteria Dahlan, seperti juga ketika tampil di layar kaca, nampak kesal. Ia minta pihak kejaksaan tak hanya menginventarisasi travel umrah yang bodong, tapi juga melakukan penindakan.
Sekedar mengingatkan, Kemenag hadir di Bumi Pertiwi tidak begitu saja. Ia lahir melalui perjuangan. Kemenag terbentuk pada Kabinet Sjahrir II ditetapkan dengan Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) yang berbunyi; Presiden Republik Indonesia, Mengingat: usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: mengadakan Kementerian Agama.
Pembentukan Kemenag pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta yaitu "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Maksud dan tujuan membentuk Kemenag, saat itu, selain untuk memenuhi tuntutan sebagian besar rakyat beragama di tanah air, yang merasa urusan keagamaan di zaman penjajahan dahulu tidak mendapat layanan yang semestinya, juga agar soal-soal yang bertalian dengan urusan keagamaan diurus serta diselenggarakan oleh suatu instansi atau kementerian khusus, sehingga pertanggungan jawab, beleid, dan taktis berada di tangan seorang menteri.
Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI Pertama. H.M. Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah.
Rasjidi saat itu adalah menteri tanpa portfolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku menteri negara (menggantikan K.H. A. Wahid Hasjim), Rasjidi sudah bertugas mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.
Kemenag mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula berada pada beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri yang berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan haji; Kementerian Kehakiman yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Islam Tinggi, dan Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan yang berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-sekolah.
Jadi, jika saja kementerian itu disebut sebagai bang**t tentu sangat menyakitkan. Meski pernyataan itu kemudian diperbaiki dan ditujukan kepada oknum kementerian bersangkutan. Rasanya, tidaklah pas. Apa pun alasannya, meski yang bersangkutan ketika mengeluarkan memiliki hak imunitas. Jujur saja, kala kementerian itu mewacanakan akan mengambil penyelenggaraan umrah, reaksi keras datang dari lembaga legislatif. Ketika kementerian itu dijumpai titik lemah, lalu dijadikan sasaran tembak. Padahal, penanganan travel nakal tak selalu ada di tangan kementerian itu melulu. Aparat penegak hukum lain pun punya wewenang. Apalagi antara Ditjen PHUÂ dan Kepolisian sudah punya nota kesepahaman (MoU). Sehinga, ketika bekerja butuh sinergi.
Kita pun menyadari, siapa pun dia, yang memiliki kecedasaran intelektual tinggi kadang tidak berbanding lurus dengan kecerdasan emosional. Apa lagi pertanyaannya dilakukan dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan. Lantas, patutkah dan pantaskah seorang wakil rakyat yang terhormat menggunakan kosakata seperti itu yang dialamatkan ke Kemenag.
Sebagai orang yang beragama, merinding rasanya bulu tangan ini mendengar ucapan dari yang bersangkutan. Kalaupun ia kemudian meminta maaf atas ucapannya itu, tidak lantas menghapus luka yang terkoyak. Luka seseorang akibat berbenturan dengan benda tumpul dan keras saja pasti akan meninggalkan jejak demikian lama. Apa lagi hal itu berupa kata-kata yang terasa menghunjam jantung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H