Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Sini Ketua KPK Bisa Tersenyum

19 Maret 2018   21:28 Diperbarui: 19 Maret 2018   21:46 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hanya di sini Ketua KPK, Agus Rahardjo bisa senyum. Boleh tertawa sepuasnya. Mumpung belum ada usulan kepada anggota dewan di negeri ini untuk membuat aturan bahwa setiap warga diatur untuk tersenyum, tertawa dan kentut sembarangan. Bukankah Ketua KPK butuh rileks?

Dan, sebaiknya anggota antirasuah itu bisa datang untuk bercermin dan menyaksikan dirinya tampil beda dalam keseharian dan dibolehkan tertawa sepuasnya.

Di kawasan Pasar Baru, tepatnya Jalan Pos, di seberang jalan depan Gedung Kesenian Jakarta, penulis menyaksikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampil keren. Penulis saksikan Agus tengah tampil di depan gedung baru KPK dengan mengangkat senjata api laras panjang. Tampak seperti tengah menghadapi musuh di medan pertempuran, sementara anak buahnya tampil di belakang ikut memberi dukungan.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Itu tampilan Agus bukan di medan perang sesungguhnya. Ini hanya berupa lukisan karya para seniman yang biasa mangkal di jalan tersebut. Para seniman jalanan yang bisa melukis sosok petinggi di negeri ini atas pesanan seseorang, tidak bosan-bosan menggoreskan kuasnya. Melukis tidak sekedar gores, tapi mereka nampaknya tahu benar denyut kehidupan sosial dan politik yang tengah aktual. Semua itu dituangkan dalam bentuk kritik pada lukisan mereka.

Karenanya, siapa pun yang datang ke lokasi ini tidak ada larangan untuk tertawa. Mengapa? Ya, karena sosok yang ditampilkan dengan bentuk agak 'nyeleneh', di luar kelaziman, hingga dapat memancing tawa bagi setiap orang yang menyaksikannya.

Dianjurkan, datanglah bersama rekan. Sebab, kala datang seorang diri dan tertawa, bisa jadi anda disebut orang gila. Orang gila, kini telah menjadi pembicaraan dan isu hangat. Apa lagi jika ia sudah mendekati lokasi rumah ibadah. Wah, karena itu hati-hati tertawa seorang diri di lokasi ini.

Karena itulah, lagi-lagi, saya menganjurkan Pak Agus Rahardjo dan kawan-kawan untuk sesekali bertandang ke lokasi ini. Di sini banyak pelukis menuangkan karyanya dengan 'warna penuh jenaka' dan sarat kritik. Sayang, para seniman itu ditempatkan di lokasi yang kurang layak atau sepatutnya. Boleh jadi, karena penguasa di negeri ini masih memandang seniman di lokasi itu sebagai penjaja kue apem di trotoar.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Adakah perhatian dari Pemda DKI terhadap seniman ini?

Saya tak ingin membahas nasib para seniman yang ditempatkan di lokasi itu. Tetapi, yang jelas, perhatian terhadap seniman atau pelukis yang bernasip kurang beruntung belum mendapat perlakuan sebagaimana mestinya.

Di sisi lain, kita masih beruntung bahwa para seniman di situ masih mampu menyerap derap perjalanan bangsa, aspirasi masyarakat dan menuangkannya dalam bentuk kritik sosial, apa saja yang dirasakan kurang dan butuh perbaikan segera.

Lagi-lagi, beruntunglah Pak Agus Rahardjo digambarkan oleh pelukis di sini sebagai sosok yang bisa melempar senyum. Saya khawatir anggota dewan akan melihat bahwa senyum, tertawa dan kentut di sembarang tempat memiliki potensi sebagai kritik yang diarahkan kepada dirinya. Apa lagi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD ( UU MD3) sudah disahkan.

Mengapa begitu?

Ingatan publik masih kuat terhadap hak angket KPK meski juga sering diperdengarkan bahwa itu tidak bermaksud melemahkan institusi antirasuah. Namun sebagian masyarakat masih kuat memandang bahwa dewan memusuhi personil KPK dan berujung pada pelemahan institusi itu juga.

Seorang pelukis menyebut, lukisan tersebut bisa saja ditafsirkan sebagai perjuangan Agus Rahardjo ketika menghadapi gempuran para pasukan tikus di seberang sana. Siapa pun kita, sangat manusiawi, kala 'kepepet' menghadapi perkara di lapangan meja hijau akan mencari akal.

Tidak perlu disebut siapa pelakunya. Namun masyarakat yang semakin disibukan dengan 'drama' konyol dan menyedot perhatian, telah menjdi dewasa terhadap berbagai fenomena sosial yang terjadi. KPK memang butuh pengawalan secara berkelanjutan.

Sebab, sejalan dengan itu, bangsa ini juga tengah menghadapi tantangan berat. Setelah lepas belenggu dari kolonial, ke depan masih saja bergelut dengan persoalan korupsi yang dibalut aspek penegakan hukum, kepentingan politik kelompok, isu agama hingga upaya memperlemah bangsa melalui narkoba.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
"Apa anda mau menyaksikan anak cucu menangis?" tanyannya sambil membereskan figura lukisan yang berserakan.

"Kulitnya sering kita dengar untuk menyejahterakan rakyat. Realitasnya, jadi kapal keruk!" ia terlihat kecewa.

Karena ada kepentingan kelompok itu, maka sangat wajar pergerakan penentangan makin menguat. Termasuk terhadap produk undang-undang yang dibuat kalangan orang terhormat itu sering kali bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK) berupa judicial review.

Jadi, sesekali bicara dengan pelukis tentu tak salah. Sebab, mereka diam-diam merekam jejak anak bangsa ini. Selama belum ada aturan tentang senyum, tertawa dan kentut di sembarang tempat tidak dilarang, apa salahnya bertandang ke lokasi itu?

Hormati seniman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun