Mengapa begitu?
Ingatan publik masih kuat terhadap hak angket KPK meski juga sering diperdengarkan bahwa itu tidak bermaksud melemahkan institusi antirasuah. Namun sebagian masyarakat masih kuat memandang bahwa dewan memusuhi personil KPK dan berujung pada pelemahan institusi itu juga.
Seorang pelukis menyebut, lukisan tersebut bisa saja ditafsirkan sebagai perjuangan Agus Rahardjo ketika menghadapi gempuran para pasukan tikus di seberang sana. Siapa pun kita, sangat manusiawi, kala 'kepepet' menghadapi perkara di lapangan meja hijau akan mencari akal.
Tidak perlu disebut siapa pelakunya. Namun masyarakat yang semakin disibukan dengan 'drama' konyol dan menyedot perhatian, telah menjdi dewasa terhadap berbagai fenomena sosial yang terjadi. KPK memang butuh pengawalan secara berkelanjutan.
Sebab, sejalan dengan itu, bangsa ini juga tengah menghadapi tantangan berat. Setelah lepas belenggu dari kolonial, ke depan masih saja bergelut dengan persoalan korupsi yang dibalut aspek penegakan hukum, kepentingan politik kelompok, isu agama hingga upaya memperlemah bangsa melalui narkoba.
"Kulitnya sering kita dengar untuk menyejahterakan rakyat. Realitasnya, jadi kapal keruk!" ia terlihat kecewa.
Karena ada kepentingan kelompok itu, maka sangat wajar pergerakan penentangan makin menguat. Termasuk terhadap produk undang-undang yang dibuat kalangan orang terhormat itu sering kali bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK) berupa judicial review.
Jadi, sesekali bicara dengan pelukis tentu tak salah. Sebab, mereka diam-diam merekam jejak anak bangsa ini. Selama belum ada aturan tentang senyum, tertawa dan kentut di sembarang tempat tidak dilarang, apa salahnya bertandang ke lokasi itu?
Hormati seniman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H