Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kuaci di Bioskop Singapura hingga Film Kentut

14 Maret 2018   10:49 Diperbarui: 15 Maret 2018   11:24 1353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski mereka makan kuaci di keremangan, tetapi cepat sekali mengupasnya. Kulit kuaci tidak dibuang sembarangan, karena setiap kursi sudah tersedia tempat pembuangan sampah kecil. Di dalam bioskop, penulis ditawari air kemasan oleh seorang siswa.

Beda dengan di Tanah Air. Di bioskop tak pernah tampak kursi dilengkapi tempat pembuangan sampah. Meski sudah tahun 2000-an, bioskop modern yang hadir di sejumlah tempat (mal) masih tidak memperhatikan kebersihan dan kenyamanan. Bahkan ada bioskop membuat aturan di larangan membawa makanan, kecuali makanan yang terjual di dalam bioskop.

"Nggak enak makanannya. Rasanya hambar," kata istri penulis ketika menyaksikan film dengan judul "Kentut" di salah satu mal Jakarta.

Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Begitulah ungkapan yang tepat untuk membedakan bioskop di Tanah Air dan negeri jiran Singapura. Satu aturan di suatu daerah bisa berbeda dengan aturan di daerah lain. Setiap negeri atau bangsa berlainan adat kebiasaannya. Tapi, tidak salah kan jika menyontoh yang baik-baik?

Ini adalah film terakhir yang penulis tonton. Setelah itu hobi menonton di bioskop cukup di rumah saja, sambil ngopi dan makanan ringan tanpa ada yang melarang harus begini dan begitu.

Biasanya, usai menonton, penulis cepat-cepat membuat resensinya. Seperti menonton film "Kentut" itu. Penulis ingin mengingatkan kepada siapa pun terkait persoalan kentut itu. Sebab, udara busuk yang satu ini bisa menjadi pedang bermata dua jika tak tahu bagaimana cara kentut yang baik di hadapan orang.

Film berdurasi 90 menit dengan sederet bintang layar lebar yang sudah dikenal luas ini sarat kritik dalam penyelenggaraan pilkada. Tokoh agama mudah dimobilisasi untuk memberikan dukungan kepada seorang kandidat. Klenik pun hadir. Bisa jadi, pelaku film ini dan beberapa kandidat dalam Pilkada 2018 tengah melakoninya dengan berbagai cara menarik simpati warga.

Film adalah media hiburan, tapi juga bisa berfungsi sebagai sarana edukasi sambil memberi kenyamanan bagi penontonnya. Keharusan membeli makanan di bioskop bersangkutan jika hendak menikmati makanan ringan sambil menonton tidak sejalan dengan hak seseorang. Sebab, rasa gembira lenyap.

Biarkan penonton membawa makan cemilan berupa tahu, kacang goreng, jagung, roti unyil dan lainnya ke dalam bioskop dalam batas wajar dan tidak mengganggu etika. Kalau begini, nyaman rasanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun