Ini langkah berani, apa lagi momentumnya di tahun politik, Kompasiana mengangkat topik Perempuan Politik. Sudah dapat diduga, tentu pembahasannya akan menyinggung perempuan masih saja diposisikan sebagai orang kelas dua. Perempuan, dalam praktik, kedudukannya tidak sama dengan para lelaki meski kesamaan hak selalu digaungkan.
Kesamaan hak bekerja dan menuntut ilmu tidak sepenuhnya berlaku. Kalaupun ada pernyataan bahwa petinggi negeri ini sudah memberi kesempatan bagi perempuan berkarier dalam dunia politik, senyatanya masih jauh panggang dari api.
Tegasnya, apa yang diungkapkan dan diharapkan tidak sesuai dengan praktek di lapangan. Tidak seperti diharapkan.
Data Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, dari total 261,9 juta penduduk Indonesia pada 2017, penduduk perempuan sekitar 130,3 juta jiwa (49,75 persen) dari populasi. Besarnya populasi perempuan tersebut tidak terpresentasi dalam parlemen. Proporsi perempuan di kursi DPR jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki.
Jelas saja, sebagaimana disebut laman Tirto, hal itu tentu tidak akan mampu memenuhi kuota 30 persen perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan keharusan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.
Itu di level kementerian. Di berbagai lembaga pendidikan dan instansi pemerintah pun senyatanya hampir serupa. Kalaupun ada perempuan mencapai puncak tertinggi sebagai rektor di perguruan tinggi negeri, misalnya, hal itu lebih disebabkan kemampuan dan integritasnya melebihi dari kelompok lelaki.
Namun sebelum mencapai jabatan tertinggi itu, wuih, liku-likunya sangat berat. Ancaman, intimidasi hingga klenik pun ikut dimainkan. Pokoknya, para lelaki dari berbagai kalangan selalu berupaya agar si pejabat perempuan jatuh dari kedudukannya.
Jauh sebelum zaman now, kita sudah diingatkan tentang kedudukan perempuan. Coba simak ketika Qasim Amin --seorang tokoh pembaru Mesir-- mengeluarkan gagasan kontroversial tentang perempuan. Salah satu gagasan itu menyangkut hijab atau jilbab bagi perempuan bukanlah suatu keharusan dan poligami harus dihapuskan.
Ya, jelaslah gagasan itu ditolak mentah-mentah. Bahkan, karena jengkelnya, para ulama saat itu menyebut ia murtad dan kafir. Lantas, tidak hanya sampai di situ, karya-karya Qasim diharamkan untuk dibaca. Sedih, kan?
Jadi, sedari dulu hingga kini, perempuan tetap saja ruang geraknya dipersempit untuk menduduki jabatan di instansi pemerintah hingga jabatan politik sekalipun. Dalam perjalanannya memang ada tanda-tanda mengembirakan. Salah satu keputusan Konferensi Besar Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) pada Maret 1957 di Surabaya, menyebut kaum perempuan diperbolehkan menjadi anggota DPR/DPRD.
***
Kita boleh menganggap keputusan itu sangat monumental dan langkah berani mengingat pandangan miring terhadap hak perempuan untuk berpolitik masih ada. Alasan kaum pria yang tidak setuju sering kali mengangkat argumentasi begini. Tidak bahagialah suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan.
Argumentasi yang berseliweran pada tahun 50-an hingga 1960 dapat dikikis dengan keputusan Syariah pada Muktamar NU 1961 di Salatiga, Jawa Tengah, bahwa perempuan diperkenankan menjadi kepala desa. Keputusan itu lantas dikuatkan pada Munas Alim Ulama 1997 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Organisasi kemasyarakat (Ormas) Islam terbesar itu memberi lampu hijau atas perempuan dalam berbagai sektor, sekali pun untuk posisi kepala negara.
Realitasnya, kelompok pria yang mengaku sebagai orang NU di sebuah kementerian belum merasa ikhlas jika ada perempuan menjabat selevel direktur. Kadang isu-isu minor dan fitnah diangkat, khususnya yang berkaitan dengan perselingkuhan. Karenanya, kebijakan perempuan setara dengan lelaki masih terkesan setengah hati. Kalaupun ada perempuan memiliki kecerdasan melebihi dari rata-rata, maka yang bersangkutan jarang diberi kesempatan tampil.
Kalau saja, misalnya, Sri Mulyani yang kini menjabat sebagai Menteri Keuangan itu mencalonkan diri sebagai presiden atau pun wakil presiden, bisa jadi penolakan akan muncul dengan argumentasi lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan akan terulang kembali.
"Ar-Rijala qawwamun 'ala-n-nisa (QS An-Nisa {4}: 34.
Alasan itu kemudian diperkuat, tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusannya (mengangkat penguasa) kepada seorang perempuan.
"Lan-yufliha qaumun wallau amrahum imra'atan" --Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.
Kita pun mahfum, dalam tahun politik berbagai pihak melakukan prediksi terhadap isu-isu yang bakal diangkat untuk menarik hati warga. Tidak mustahil isu agama paling mudah diangkat. Ya, tadi, isu soal perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah akan diterpa isu paling sensitif, yaitu melalui agama.
Dan, terkait dengan ayat sebagai pembenaran perempuan dilarang menjadi pemimpin tadi, seharusnya berbagai pihak dapat berfikir komprehensif. Asbabun-nuzul atau asal usul ayat tersebut harus dilihat secara jelas.
***
Bila dilihat konteks ini sesungguhnya, hukuman dibatalkan tidak dalam kaitan pemakaian ayat itu untuk kepemimpinan perempuan. Sebab, Sa'ad yang menampar isterinya karena menyangkut urusan ranjang, bukan kepada urusan kepemimpinan.
Demikian pula jika ditelusuri asal usul ayat "Lan-yufliha qaumun wallau amrahum imra'atan". Hadis ini berawal dari kisah Abdullah ibn Hudzaifah, kurir Rasulullah SAW yang menyampaikn surat ajakan masuk Islam kepada Kisra Anusyirawan --penguasa imperium Persia beragama Majusi. Ajakan Nabi SAW itu dianggapi sinis. Kisra pun mengoyak surat Nabi.
Melihat kisah itu, tentu hadis tersebut sangat kauistis dan kondisional. Objek pembicaraan Nabi SAW bukan kepada seluruh perempuan, melainkan tertuju kepada Buran.
Sejatinya, sudah menjadi sunnatullah, pria dan wanita --lelaki dan perempuan-- diciptakan untuk saling mengisi dan melengkapi. Kedua insan berbeda kelamin ini tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ini kodrat manusia. Hak-haknya pun harus dilindungi yang dalam Islam dikenal sebagai al-ahkam al---qath'iyyah (hukum-hukum agama yang lebih pasti dan universal).
Penulis sepakat dengan pemikiran Dr. KH Said Aqil Siroj, dalam bukunya "Tasawuf Sebagau Kritik Sosial", mengedepankan Islam sebagai inspirasi, bukan aspirasi, yang mengingatkan bahwa perempuan berhak untuk disederajatkan sama dengan lelaki untuk mencapai amal salah dan ketaatan agama meski secara natural hak-hak itu berbeda.
Namun di luar kodrati perempuan itu ada yang bersifat pilihan dan memungkinkan keleluasaan untuk bergerak dalam memenuhi hak-hak tersebut secara maksimal. Tentu saja, upaya itu tidak cukup dengan retorika dengan kebijakan setengah hati.
Catatan: sumber bacaan 1, 2, dan 3.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H