Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Konsentrasi Sopir Stabil saat Merokok dan Mendengarkan Musik

3 Maret 2018   06:09 Diperbarui: 3 Maret 2018   10:49 2752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto | Tribunnews.com

Penulis sering kali mendapati mobil di depan memperlambat jalan dari kewajaran. Pagi hari saat jam sibuk warga berangkat kerja, di ruas jalan tol dari arah Taman Mini menuju pintu gerbang Cililitan, Cawang, mobil di hadapan berjalan perlahan.

Mobil tersebut cukup jauh dengan jarak mobil di depannya, sementara upaya penulis untuk menyalip mengalami kesulitan lantaran di sisi kiri dan kanan kendaraan berjalan lancar dalam kecepatan wajar.

Penulis menduga, sang sopir mobil bersangkutan tengah bicara menggunakan telepon genggam dengan lawan bicara entah dimana. Boleh jadi ia tengah bicara dengan rekanan atau urusan kantor karena bicaranya cukup lama. Dan, dugaan penulis betul. Sembil menyalip dalam kecepatan wajar, penulis menyempatkan menoleh dan terlihat sang sopir yang mengenakan dasi tengah bicara serius.

Pagi hari ruas jalan tol ke arah Semaggi dan Kuningan terlihat padat. Semua orang ingin cepat sampai di kantor masing-masing. Bagi aparatur negeri sipil, telat berarti tunjangan kinerja bakal dipotong. Dengan alasan macet, maka urusan kantor diselesaikan lewat pembicaraan melalui telepon genggam (handphone).

Bagi pengemudi yang berada pada posisi di belakang mobil tengah memperlambat jalan, -lantaran bos pengemudi sendiri,- tentu akan menimbulkan rasa kesal beberapa penemudi di belakangnya. Hanya sedikit di antara pengemudi yang memahami kondisi seorang bos menelepon sambil mengemudi lantaran tengah menghadapi persoalan kantor yang harus diselesaikan saat itu juga.

Tapi, apa pun alasannya, mengemudi sambil menggunakan handphone di dalam mobil beresiko bagi diri sendiri dan orang lain. Kendaraan di depan pun berpotensi ditabrak. Boleh jadi sang bos merangkap mengemudi, ketika melihat mobil di depan sudah dekat, bukan menginjak rem tetapi malah pedal gas.

Bisa jadi seorang yang baru menerima telepon merasa kesal lantaran hasil pembicaraan menambah persoalan. Tidak ditemukan solusi sehingga yang bersangkutan emosi. Karena emosi, jika itu terjadi, membawa perubahan sikap kepada sang sopir. Ya, tadi, menginjak gas bukan pedal rem.

Itu salah satu kasus yang kerap dijumpai di jalan raya. Sesungguhnya, dari arah jauh, polisi lalu lintas sudah bisa menerka gerakan mobil yang pengemudinya tengah beraktifitas dengan gawai. Atau sopir tengah sibuk dengan gerakan mencurigakan lantaran mengunakan handphone. Bahkan gerakan mobil mencurigakan sang sopir tidak memiliki dokumen kendaraan lengkap bisa diketahui. 

Jika berkomunikasi, dikenal bahasa lisan dan bahasa tubuh. Untuk lalu lintas di jalan raya, gerakan mobil tidak wajar, berlebihan, atau tidak normal bisa dimaknai sebagai 'gerakan' mobil punya potensi melanggar aturan berlalu lintas. Hal ini adalah bagian dari domain petugas dengan ilmu kepolisian. Polisi wajib mengambil tindakan.

Lantas, bagaimana dengan mendengarkan musik di dalam mobil?

Bagi penulis, sederhana saja. Jika mendengarkan musik dianggap sebagai pelanggaran berlalu lintas, harusnya sudah lama pihak Kepolisian RI membuat aturan bersama dengan Kementerian Perhubungan untuk melarang produsen mobil -- dari kelas teri hingga mewah -- tidak dibenarkan memasang perangkat alat musik (tape recorder dan televisi).

Dengan cara seperti itu, ke depan tidak ada lagi polemik.

Di negeri ini belum ada penelitian mendengarkan musik di dalam mobil yang tengah dikendarai dapat menimbulkan kecelakaan lalu lintas. Yaitu kecelakaan disebabkan sopir hilang konsentrasi karena mendengarkan musik saat mobil meluncur. Namun harus diakui mengeraskan suara musik berlebihan ketika mengendarai mobil bisa menyebabkan sang sopir kehilangan kosentrasi.

Penulis juga sering menyaksikan sopir mengeraskan suara musik hingga mengganggu pengemudi lainnya. Boleh jadi sang sopir kala itu tengah mabuk sambil mengeraskan suara musik di kendaraannya.

Tapi, tentang mendengarkan musik, harus disikapi dengan bijaksana. Mengapa? Sebab, di beberapa daerah seperti di kota Kupang (Nusa Tenggara Timur) dan beberapa daerah lainnya, sopir angkot di daerah itu selalu memperdengarkan musik untuk menarik hati para penumpangnya.

Penumpang di daerah itu sangat selektif. Jika dari kejauhan mobil terlihat jelek, animo warga untuk menumpang angkut jadi berkurang. Apa lagi tidak disertai dengan musik. Sering, sopir makin kecewa lantaran tak sanggup bayar setoran kepada majikannya karena penumpang makin langka.

Lain ladang lain belalang lain lubuk lain ikannya. Dengan sebutan lain, satu aturan (kebiasaan) di suatu daerah bisa berbeda dengan aturan di daerah lain. Begitu juga setiap negeri atau bangsa berlainan adat kebiasaannya.

Jadi, menyaksikan kenyataan itu, soal aturan lalu lintas tidak bisa dipaksakan seragam di semua lokasi. Jika saja sopir angkot di Jakarta memiliki kesamaan perilaku dengan sopir angkot di kota Kupang, tentu polisi dan dinas perhubungan makin repot menghadapinya.

Lalu, bagaimana dengan perilaku perokok di dalam mobil?

Aturan dilarang merokok di dalam angkot, sulit dilenyapkan. Pasalnya, para sopir angkot, termasuk sopir bus, adalah contoh pertama bagi para pempangnya dibenarkan merokok. Penulis sangat sulit mencari sopir angkot terbebas dari rokok.

Bagi pengemudi kendaraan pribadi, kebiasaan merokok di dalam mobil masih sering dijumpai. Namun tidak sebanyak di kalangan sopir angkot.

Jelas saja, merokok di dalam mobil bukan hanya mengganggu kesehatan sopir itu sendiri juga bagi para penumpangnya. Termasuk di kendaraan milik pribadi. Itu dari sisi kesehatan bagi kepentingan dan keselamatan sopir itu sendiri.

Namun dari sisi kenyamanan sang sopir, tentu setidaknya yang bersangkutan dapat menghalau rasa ngantuk. Untuk konsentrasi, tentu saja tidak berkurang. Seorang perokok akan mengambil sikap 'anteng' karena kebiasaannya dalam perjalanan sudah terpenuhi. Apa lagi jika dalam perjalanan disediakan seteguk kopi.

Terpenting, sopir harus menyesuaikan keadaan dengan lingkungan. Jika hal itu dirasakan dapat mengganggu para penumpang, ya sayogianya harus dihindari.

Namun kita, semua warga, sepakat untuk mengindahkan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Di situ dijelaskan, "Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan 'penuh konsentrasi'.

Disebutkan dalam penjelasan UU tersebut bahwa yang dimaksud penuh konsentarasi adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan kendaraan.

Ya, jelaslah orang mabuk karena pengaruh alkohol, ngantuk karena obat-obatan dan menggunakan telepon sambil mengemudi -- siapa pun dia -- dapat dipastikan akan membahayakan diri sendiri dan orang lain.

Tapi, bukan lantaran mendengarkan musik dan merokok lalu dapat dikenai sanksi. Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto, mengatakan bahwa merokok dan mendengarkan musik akan dilarang, dan jika melanggar dikenakan denda maksimal Rp750.000 atau pidana kurungan tiga bulan.

Harus dipahami bahwa perlakuan perokok dan mendengarkan musik di kendaraan tidak bisa disamaratakan begitu saja.

Realitasnya, jadi UU tersebut tidak dapat diterapkan sepenuhnya di lapangan. Apa lagi jika dikaitkan dengan kondisi jalan yang tidak mendukung, seperti trotoar digunakan untuk pedagang hingga pengemudi mobil dan motor seenaknya parkir. Kondisi persimpangan jalan dan rambu lalu lintas masih buruk. Petunjuk arah jalan tertutup pohon rindang dan tidak pernah diperhatikan.

Di zaman "now" kemajuan teknologi komunikasi tidak dapat dibendung. Kita pun sering menjumpai oknum petugas di lapangan sibuk dengan gawainya ketimbang upaya mencairkan kemacetan lalu lintas.

Untuk mengindari rasa jenuh, polisi lalu lintas menggunakan musik kala mengatur lalu lintas. Ia berjoget penuh daya pesona. Jika ingin adil, polisi macam ini harusnya sudah lama dikenai sanksi. Tapi, toh tidak pernah terdengar, kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun