Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerupuk sebagai Menu di Tahun Politik

27 Februari 2018   20:53 Diperbarui: 27 Februari 2018   21:12 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krupuk di ruang kerja (Dokumentasi Pribadi)

Jangan terlalu banyak makan kerupuk. Sebab, makanan ringan dan murah itu membuat tubuh makin enteng. Bisa jadi, tubuh anda ke depannya makin kurus dan banyak batuk. Lagi pula, jenis makanan itu hanya cocok dikonsumsi bagi anak kos (kost) yang tengah prihatin menanti kiriman uang dari orang tua.

Mahasiswa banyak mengonsumsi kerupuk dikombinasikan dengan kecap, plus nasi. Makannya di kamar seorang diri dan sembunyi karena tengah menyimpan rasa prihatin kala menuntut ilmu.

Kerupuk di kantin (Dokumentasi Pribadi)
Kerupuk di kantin (Dokumentasi Pribadi)
Ungkapan banyak makan kerupuk badan selanjutnya menjadi enteng sering diangkat mahasiswa yang tengah prihatin lantaran kiriman wesel tak kunjung datang. Untuk bayar kos saja terasa ngap-ngap, apa lagi untuk makan saat itu.

Tapi tidak sedikit di antara mahasiswa yang prihatin itu dalam kehidupan selanjutnya sukses. Sukses menjadi "orang gede", punya kedudukan dan dapat isteri dari pemilik rumah kost.  Namun ada pula mahasiswa tak bisa menyelesaikan kuliahnya dan memilih bekerja karena desakan kebutuhan ekonomi.

Kisah mahasiswa yang berkaitan dengan krupuk tentu masih membekas kuat dalam benak di antara para penggede di saat zaman "now". Tapi, tahukah anda bahwa krupuk sekarang tidak hanya dikonsumsi kalangan warga akar rumput, tetapi sudah menjadi menu bagi kalangan elite.

Bisa jadi hal ini karena antara penggede dan krupuk ada ikatan emosional.

Dalam suatu kesempatan, penulis menyaksikan tukang perupuk berada di sisi satu kantor kementerian. Lokasiny tepat berada di tengah kota, kawasan Lapangan Banteng Barat. Ribuan kerupuk dari tangga darurat dibawa ke beberapa lantai teratas.

Sementra itu, di Jalan MH Thamrin, tukang kerupuk pada pagi hari terlihat sibuk. Dengan bantuan para juru masak, kerupuk dikirim ke kantin dan ruang rapat hingga lantai 20. Wuih, hebat pokoknya tuh kerupuk.

Dengan demikian, kerupuk sekarang tak lagi dapat dipisahkan dari kehidupan warga Jakarta. Padahal, jika ditelusuri, pabrik kerupuk itu lokasinya berada di beberapa titik kota Jakarta. Bahkan ada yang mengambil di gang sempit yang sulit dijangkau dengan kendaraan roda empat.

***

Di tahun politik, filosofi kerupuk sayogianya bisa menginsiprasi para elite politik untuk belajar dari kehidupan mahasiswa yang tengah prihatin. Di antara para elite tersebut tentu pernah merasakan betapa "pahit" ketika masa-masa sulit menderanya. Namun mereka tetap bertahan dengan satu tujuan, yaitu menyelesaikan kuliah untuk membahagiakan orang tua dan tentu bermanfaat bagi diri sendiri ke depannya.

Krupuk di ruang kerja (Dokumentasi Pribadi)
Krupuk di ruang kerja (Dokumentasi Pribadi)
Kerupuk dengan harganya yang relatif murah dan dikonsumsi sesuai kebutuhan saat itu, di sebagaian warga masih dipandang sebelah mata. Artinya, dari sisi kemanfaatannya tidak terlalu penting. Kerupuk hadir hanya sebagai pelengkap untuk merangsang seseorang merasa lezat makan. Dan bagi sebagian orang yang merasa tak lengkap jika makan tanpa kerupuk, maka ia telah menempatkan kerupuk menjadi penting.

Jika dicermati perjalanan kerupuk, mulai saat didistribusikan dari pabrik hingga mencapai gedung pencakar langit, dapat dimaknai bahwa kerupuk sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.

Kini, jenis kerupuk pun beragam dengan cita rasa beragam pula. Mulai rasa ikan, udang dan lainnya. Pokoknya, sesuai dengan tuntutan kebutuhan akan cita rasa yang makin menyenengkan konsumen, para pengelola kerupuk terus menerus melakukan inovasi. Di berbagai daerah, kini hadir kerupuk dengan beragam rasa yang enak.

***

Di tahun politik, elite politik masih saja tidak belajar dari pengalaman masa lalu. Sejak di awal tahun sudah terdengar menu-menu yang disuguhkan masih saja itu-itu saja. Isu yang diangkat sudah dapat "dibaca" warga "akar rumput".

Jika orang berceloteh yang dipegang adalah omongannya. Tapi, bila dicermati, para elite bicaranya melulu prihal isu suku, agama, ras dan antargolongan alias SARA. Di media sosial hal itu bermunculan, mulai dari isu pengembang di wilayah pantai Jakarta hingga penguasaan lahan oleh etnis tertentu.

Tukang kerupuk tengah bersiap mendistribukan ke gedung kementerian. Foto | Dokpri
Tukang kerupuk tengah bersiap mendistribukan ke gedung kementerian. Foto | Dokpri
Bersamaan dengan itu, muncul isu permusuhan kepada tokoh agama-agama. Penganiayaan atau teror terhadap ustaz hingga tokoh agama-agama sekalipun mulai mencuat ke ranah publik.

Ini isu "jadul" dari para tangan kotor. Belum lagi isu kadaluarsa lainnya, semisal si anu adalah keturunan eks partai komunis. Lantas disusul potensi ucapan kebencian di tahun politik melalui media sosial. Pernyataan pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah, yang menyebut bahwa pelaku teror terhadap ustaz adalah orang gila membuat publik tambah curiga.

Isu agama dan segala simbol-simbolnya dalam berpolitik tergolong murah dan primitif. Tapi,  terasa efektif untuk membangun opini publik, dan kemudian rentan menimbulkan perpecahan antarumat atau bahkan sesama umat seagama. Hal ini seharusnya sudah ditinggalkan.

Menirukan gaya bicara anak muda sekarang, macam gituan sudah kuno.

Hal itu terjadi lantaran para elite tidak punya kreativitas untuk melontarkan isu positif. Atau tidak memiliki kemampuan menggoreng isu di luar SARA untuk membawa umat berpikir cerdas. Filosofi kerupuk sayogianya dapat menginsiprasi dan mendorong para elite politik untuk kreatif mengembangkan isu dan menambah pembelajaran tentang arti pentingnya berpolitik.

Menghindari rakyat tertekan dengan isu miring akan lebih baik dalam pesta demokrasi mendatang. Mengapa harus mengorbankan rakyat ketika suaranya dibutuhkan. Kata orang bijak, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun