Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gagak Hitam di Tanah Haram

24 Februari 2018   14:43 Diperbarui: 24 Februari 2018   14:50 1086
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah dua bulan burung gagak itu selalu hadir di pelataran Masjidil Haram, masjid terbesar di dunia, yang berada di kota suci Mekkah. Mataku juga tak pernah lepas kepada burung berwarna hitam 'buleng' itu ketika melewati kumpulan merpati mencari makan.

Anak-anak kulit hitam berkerudung sering melempar makanan ke arah kumpulan burung merpati. Menarik. Kumpulan unggas itu kembali terbang, kadang kembali ke tempat asal. Mereka mengangkasa, menclok di jendela masjid yang megah dan membuang kotoran dari dubur seenaknya. Crot. Crot, tahi burung mengenai pakaian mewah anggota Jemaah.

Tidak ada suara protes dari Jemaah tertimpa tahi burung tadi. Ia nampaknya pergi ke tepi, ke sisi masjid dan mendekati tong air zamzam yang disediakan pengurus masjid. Di situ, si empunya baju gamis dan mewah membersihkan kotoran burung yang melekat. Harapannya, ketika berada di dalam masjid dirinya kembali suci secara fisik dan pakaiannya pun bersih dari najis melekat.

Lalu, pandanganku ke arah si gagak hitam. Burung ini tidak seperti merpati yang sering berkelompok mencari makan dan bersahabat dengan sesamanya. Ia muncul kadang seekor, dua ekor dan paling banyak lima ekor saat mencari makan. Si gagak nampak mematoki sisa makanan marpati. Namun ia tidak lari saat kumpulan merpati kembali berkerumun mendekati untuk memakan makanan yang ditaburkan bocah cilik berwarna hitam tadi.

Bocah cilik asal Afrika ini, saat musim haji tiba, bermunculan di Masjidil Haram. Mereka bekerja membantu orang tuanya sebagai peminta-minta atau pengemis.

Mengapa si bocah kulit hitam itu rajin menaburkan makanan untuk kumpulan merpati?

Kucari-cari jawabannya. Ternyata si bocah itu berharap makanan burungnya dapat dibeli anggota Jemaah. Sebab, ada mitos, jika seorang ibu belum memiliki anak dan selama di Masjidil Haram sering memberi makan merpati, maka doa memohon minta keturunan bakal terkabul.

Bagaimana dengan burung gagak?

"Sama. Ini hanya mitos. Ya, namanya juga mitos. Bisa dipercaya atau tidak, tergantung yang mendengarkan dan menyikapinya," ujar si Bujang, kawanku dari Bukittinggi.

"Kok, burung gagak itu punya mitos?" tanyaku sambil memandangi wajahnya.

Bujang nampak kaget. Sebab, ia melihat wajahku demikian serius. Lantas, ia menahan diri. Biasanya, dalam berbagai kesempatan, Bujang selalu melempar humor dan banyak bercanda denganku.

"Hmm. Gagak hitam. Pernah dengar suaranya? Suara burung gagak itu."

"Pernah," jawabku singkat.

Ia menjelaskan, dari suaranya saja menyeramkan. Tapi, pernahkah burung ini mengeluarkan suara ketika berada di Masjidil Haram.

Mendapat pertanyaan seperti itu, aku terdiam. Aku menggelengkan kepala.

"Rasanya, nggak ada sih," kataku sambil melihat bangunan Masjidil Haram.

***

Sudah dua pekan pikiranku tercurah kepada burung gagak. Seolah diri ini melakukan monolog, berdialog seorang diri tentang gagak hitam yang tak kunjung memberi jawaban pasti. Benarkah seperti yang disebut si Bujang, rekan kerjaku itu selama di Tanah Suci ini, bahwa gagak dapat mematikan orang. Bahkan membunuh orang.

Apa istimewanya si gagak hitam itu? Banyak petugas haji kumintai penjelasannya. Tak banyak yang tahu tentang riwayat gagak. Namun salah seorang petugas pernah menyebut bahwa si gagak ini punya watak kejam.

"Kenapa?" tanyaku.

Ia menjelaskan, gagak itu tergolong binatang raja tega. Disebut demikian, karena begitu telurnya menetas, anaknya tidak diurus. Jika disamakan dengan zaman "now", gagak itu punya kelakuan diskriminatif.

Aku semakin bingung dengan jawaban itu. Gagak disamakan dengan peradaban manusia dan dikaitkan dengan diskriminatif pula. Barulah aku sadar, yang dimaksud diskriminasi adalah ketika telurnya menetas, anaknya tidak diurus. Hanya dilihat dari jauh, tetapi tidak diberi makan.

Mengapa tak diberi makan oleh induknya, karena anak gagak -- sebut saja masih bayi -- kemunculannya dengan bulu putih. Lambat laun, bulu putihnya berubah warna, menjadi hitam.

"Jadi, selama bulu putihnya melekat, induknya tak bakal urusi tuh anaknya!" kata rekanku sambil meninggalkanku berdiri di pelalatan masjid.

Barulah aku paham, perilaku gagak banyak dicontoh di Tanah Air. Buktinya, banyak anak bayi dibuang. Hanya saja, pada burung gagak ini, induknya baru mengurusi anaknya setelah bulu hitamnya muncul.

Lantas, dari mana si anak gagak itu memperoleh makan. Ah, nggak usah dipikiran amat sih. Itu urusan Yang Maha Kuasa, pikirku. Dan, ternyata benar juga, selama berada di sarangnya, anak gagak memperoleh makanan dari binatang kecil, seperti semut yang mendatanginya.

Soalnya, ketika masih bayi, anak gagak mengeluarkan bau. Sudah pasti, ketika bau tak sedap terbawa udara, semut dan binatang lainnya tertarik mendekat. Ketika itulah, hap...lalu ditangkap dan dimakan si anak gagak.

***

Cerita temanku tentang gagak termasuk si raja tega ternyata bukan mitos. Sebab, baru saja si Polan bin Fulan meninggal gara-gara gagak.

Bagaimana si Polan bisa meninggal?

Tapi sebelum kabar meninggal itu dibahas lebih jauh, para petugas haji membuat kesepakatan. Dan mereka sepakat bahwa si Polan meninggal lantaran serangan jantung dan terjatuh. Awak media dilarang keras menyiarkannya. Cukup memberi tahu kepada publik bahwa Polan meninggal karena alasan tadi, serangan jantung dan jatuh.

Pers dilarang keras menyebut Polan meninggal karena gagak?

Aku protes. Ini era keterbukaan. Jarum jatuh saja wajib diberitakan sejauh hal itu memberi manfaat bagi masyarakat. Pers harus berpihak kepada kepentingan negara dan masyarakat.

"Wah, tinggi amat sih alasan hanya untuk tahu menyebut-nyebut demi kepentingan dan bla bla bla segala," kata seorang petugas.

Gini cerita awalnya. Si Polan itu wafat karena kepalanya dipatuk si gagak hitam. Saat itu mereka tengah mendaki gunung bebatuan, ke Jabal Nur. Saat istirahat, tiba-tiba gagak menyambar dan mematuk kepalanya.

"Gitu aja, lalu ia meninggal," kata petugas tadi.

Hanya saja, ia melanjutkan, jika kabar ini disampaikan ke Tanah Air, tentu bakal heboh. Dugaan Polan meninggal pun lalu dibumbui pendapat tidak sehat.

"Lantas, apakah anda tega kala berita itu tersiar dan sampai ke telinga anggota keluarganya?"

"Oh, tidak," jawabku perlahan sambil menggelengkan kepala.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun