Presiden Joko Widodo atau Jokowi, seperti juga pada tahun lalu, menghadiri perayaan Hari Pers Nasional (HPN) ke-32 di Kota Padang, Sumatera Barat. Jokowi direncanakan mengikuti perayaan HPN 2018 selama dua hari. Â
Peringatan Hari Pers Nasional tahun ini seyogianya tidak melupakan upaya mengajak masyarakat dan pengguna media sosial (medsos) untuk bersama-sama memerangi berita hoaks (hoax). Apa alasannya pengguna media sosial disertakan memerangi berita hoaks?
Begini. Di zaman "now", siapa pun mahfum bahwa pada era digital saat ini, internet dan teknologi gawai telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Media sosial pun tak dapat dipisahkan bagi setiap insan.
Media daring makin mendapat tempat di hati publik lantaran mudah diakses meski dari sisi pendidikan telah membawa konsekuensi sendiri bagi anak-anak. Kita pun sering mendengar anak menjadi ketergantungan terhadap dunia maya dan tidak bisa dipisahkan jauh dari gawai.
Upaya mengurangi pengaruh negatif penggunaan media daring yang terakses anak-anak telah dilakukan. Berbagai institusi telah banyak melibatkan orang tua diberi pemahaman agar anak bisa mengakses media online secara bijak. Orangtua memang perlu diedukasi secara berkesinambungan sehingga dapat memberi pencerahan kepada anak didik.
Memang, kita tidak lagi hidup di zaman "old" yang mana untuk mendapatkan informasi sangat tergantung pada para musafir. Pada zaman Romawi, saat itu, para musafir dan petugas kerajaan bekerja keras mendengarkan kabar yang dibawa musafir di penginapan.
Informasi dari musafir saat itu demikian berharga. Sudah ada kesadaran bahwa siapa yang menguasai informasi dialah yang paling awal mengambil keuntungan. Saat perang saja, data tak memadai, sejumlah pasukan akan berpikir dua kali untuk menyerang lawan. Jika kabar yang dibawa para musafir tidak didukung data dan fakta yang akurat, boleh jadi timbul desas-desus. Lebih tepat disebut sebagai kabar angin.
Sebagai manusia normal, tentu kita tak lagi bisa bergantung kepada berita desas-desus. Bersyukur, manusia di zaman now telah memanfaatkan kemajuan teknologi dengan segudang manfaatnya. Manfaat kemajuan teknologi itu terasa optimal mana kala sisi negatif yang ditimbulkan, yaitu berita hoaks, dapat dihindari.
Penting diingat bahwa pada tahun politik ini, kemunculan berita hoaks sebagai sisi negatif dari penggunaan media sosial tidak bisa dihindari bagai air mengalir. Dan penanganannya pun tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke badan-badan atau institusi yang sudah dibentuk pemerintah. Harus ada sinergi institusi satu sama lain.
Pada tahun politik ini, saat Pilkada serentak berlangsung, tim pemenangan dari setiap partai politik akan menggunakan media sosial. Penggunaan media sosial itu, publik juga sudah tahu kalau semata-mata untuk membangun citra kandidat yang diusung. Bisa jadi, tim bersangkutan membentuk tim media untuk menyerang lawan, bertahan agar citra kandidat tidak melorot di mata publik.
Di sini, peran pers masih diharapkan.
Jajaran pers penting mengajak masyarakat untuk memerangi berita bohong. Sesuai dengan perannya, pers penting meluruskan berita simpang siur atau berita bohong sebagai suatu keharusan, sehingga publik memperoleh kejelasan duduk persoalannya. Tetapi itu saja tidak cukup, awak media perlu tampil menyosialisasikan kode etik profesinya sendiri.
Kode Etik Jurnalistik sejatinya merupakan himpunan etika bagi para jurnalis atau wartawan. Awak media ini, dalam bekerjanya, selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga wajib mengindahkan kode etik jurnalistik.
Sosialisasi kode etik itu bukan hanya ditujukan bagi insan pers itu sendiri, juga dirasa penting bagi publik. Dengan harapan para pengguna medis sosial dapat memahami rambu-rambu (larangan) yang berpotensi merugikan orang banyak. Atau, jangan sampai menyeret pengguna media sosial itu sendiri ke meja hijau lantaran memasuki wilayah privasi seseorang, menyerang seseorang dengan berita fitnah atau melukai perasaan orang banyak.
Seyogianya pengguna media sosial itu tidak jauh mengambil posisi sama kedudukan dengan insan pers, meski hal itu tidak seluruhnya sebagai pelaku yang menjalankan fungsi pers sebagaimana mestinya. Minimal, ia tahu tentang informasi pada wilayah "abu-abu", terang benderang dan larangan untuk dikonsumsi publik.
Para awak media yang bekerja pada media mainstream (arus utama), meski sudah memahami kode etik pers tidak berarti mereka hafal poin-poinnya. Tetapi terpenting sudah ada kesadaran bahwa yang bersangkutan sudah tahu rambu-rambunya untuk terhindar dari jerat hukum.
Demikian pula para pengguna media sosial, ia harus mengerti Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terlebih lagi jika dilengkapi pemahaman yang tepat tentang kode etik pers sebagai panduan mengemukakan pendapat ke ranah publik.
Undang-undang (UU) No.19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), seperti pernah diungkap Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, Â bahwa masyarakat perlu memahami hal apa saja yang tidak boleh ditulis dan dibagikan (share) melalui media sosial.
Masyarakat harus bijak dalam menggunakan media sosial dengan berpikir ulang atas informasi apa yang ingin dibagikan ke orang lain yang nantinya akan dibagikan juga oleh orang lain tersebut.
Dewasa ini, media arus utama juga ikut memainkan perannya di media sosial. Coba saksikan, banyak berita yang sudah disuguhkan dalam media online masih juga dibagikan (share) melalui media sosial. Dengan harapan, publik memperoleh informasi lengkap.
Berbagai cara menggunakan media sosial agar terhindar dari jeratan hukum sudah banyak dipublikasikan. Terpenting adalah periksa  secara teliti terlebih dahulu kebenaran informasi yang akan dibagikan (share) ke publik. Dan, jangan lupa, kedepankan sikap hati-hati bila ingin memposting hal-hal atau data yang bersifat pribadi. Juga pahami aturan hukum yang berlaku dan etika ber-media sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H