Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Generasi "Zaman Now" yang Beruntung Menyaksikan Super Blue Blood Moon

31 Januari 2018   20:36 Diperbarui: 1 Februari 2018   17:15 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan menyaksikan super blue blood mood di Kanwil Kemenag Provinsi Aceh. Foto | Kemenag

Generasi zaman now patut bersyukur, karena peristiwa gerhana bulan yang dikenal sebagai Super Blue Blood Moon dan terjadi pada Rabu (31/1/2018) ini dapat disaksikan di berbagai belahan bumi Indonesia.

Mengapa harus bersyukur?

Sebab, anak zaman now tidak perlu takut seperti orang-orang tua zaman dulu yang memaknai kala terjadi gerhana matahari atau bulan sebagai tanda adanya peristiwa buruk.

Generasi now juga tak "termakan" mitos mahluk halus Wewe Gombel seperti yang terjadi pada zaman old. Hal itu tidak lain karena kemajuan teknologi ilmu astronomi yang menjelaskan tentang fenomena langka itu.

Para ahli astronomi memperhitungkan, gerhana bulan serupa itu baru dapat terulang kembali 100 tahun ke depan. Jadi, anak zaman now tidak perlu berharap mengulang untuk menyaksikan peristiwa serupa lantaran keburu wafat. Usia harapan hidup manusia kini kira-kira 70 tahun.

Para ahli astronomi --yang mempelajari dan meneliti benda langit (seperti bintang, planet, komet, dll) serta fenomena-fenomena alam yang terjadi di luar atmosfer Bumi-- kini semakin berkembang dengan ditunjang kemajuan teknologi.

Kemajuan zaman dan teknologi memang telah mengantarkan manusia semakin paham tentang fenomena alam. Karenanya, peristiwa langka itu dapat disikapi sebagai peristiwa alam yang memang sudah menurut ketentuannya, sesuai Sunnatullah. Atau menurut ketentuan-Nya sebagai Rabb yang terlaksana di alam semesta yang dalam bahasa akademis disebut hukum alam.

Berbeda dengan orang-orang tua di zaman tempo doeloe. Di zaman old, gerhana matahari atau pun gerhana bulan yang dalam Islam (yang disebut kusuf dan khusuf) sering dikaitkan dengan kejadian di luar logika. Bahkan di Tanah Air berkembang mitos, ketika terjadi gerhana bulan ada anak kecil dibawa makhluk "halus" yang disebut Wewe Gombel.

Kala penulis masih "bau kencur", di kampung-kampung banyak warga memukul-mukul benda beramai-ramai. Katanya, untuk mengusir mahluk halus.

Dan, di Jazirah Arab pun ada kepercayaan dan pemahaman keliru bahwa tatkala terjadi gerhana mereka mengaitkan dengan tokoh atau orang terkemuka yang wafat.

Terkait peristiwa ini, Pemerintah mengajak kepada semua pihak agar tidak melewatkan momen langka ini. Bahkan di beberapa daerah yang dilewati gerhana tersebut berbagai fasilitas disediakan untuk menyambutnya.

Agama Islam telah meluruskan pemahaman keliru yang mengaitkan peristiwa alam itu dengan kejadian yang bukan-bukan. Syaikh Abdurrahman Al-Barrak menyebut, gerhana bulan atau matahari merupakan tanda-tanda alam yang Allah perlihatkan kepada manusia.

Peristiwa itu bermakna agar manusia ingat akan fenomena yang terjadi pada hari kiamat.

"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah..." (HR. Bukhari Muslim)

Jadi, ketika terjadi gerhana pada masa Nabi SAW, diserukan kepada para sahabat agar mengerjakan shalat dengan seruan "ash-shalatul jami'ah".

Kemudian Nabi Muhammad SAW shalat bersama, berdiri menyampaikan khutbah. Di dalam khutbahnya beliau menjelaskan hikmah di balik gerhana dan imbauan untuk mengingkari kepercayaan jahiliyah. Nabi SAW juga menganjurkan kaum Muslimin untuk senantiasa mengerjakan shalat, berdo'a dan bersedekah.

Memang dari sisi kaca mata ilmiah, Super Blue Blood Moon dapat dipandang sebagai peristiwa alam sebagaimana mestinya. Padahal peristiwa langka tersebut sejatinya adalah peringatan sebagaimana bagi manusia tentang hari kiamat.

Rasa takut kepada peritiwa hari kiamat jarang terbayang dalam jiwa, dan tidak mengetahui tujuan ditetapkannya syariat serta bagaimana kekhawatiran Nabi SAW saat mengalami peristiwa tersebut.

Rasulullah SAW dan para sahabatnya menghadapi kekhawatiran itu dengan mengerjakan shalat. Dengan harapan, jika hal itu berujung kepada terjadinya hari kiamat, maka mereka mengakhiri hidupnya dalam ketaatan kepada Allah. Namun apabila tidak, maka shalat itu tidak membuat diri mereka rugi, bahkan mendapatkan pahala yang besar dan menjadikan mereka tergolong bersama dengan orang-orang yang takut kepada Allah.

Dan, kita patut bersyukur, peristiwa Super Blue Blood Moon tidak dilalui begitu saja. Selain para ilmuwan melakukan penelitian, sebagian lainnya melaksanakan shalat gerhana bulan sebagaimana juga dianjurkan Pemerintah.

Dirjen Bimas Islam Muhammadiyah Amin menyebut seluruh kawasan Indonesia dapat mengamati peristiwa gerhana bulan total tersebut. Terkait hal ini, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin memang jauh hari telah mengimbau umat muslim untuk menunaikan shalat khusuf.

Seperti di Aceh, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh menggelar pengamatan gerhana. Selain pengamatan gerhana bulan, Kemenag setempat juga melaksanakan shalat khusuf. Hal serupa juga dilakukan di beberapa provinsi lainnya.

Kita berharap, moga-moga apa yang dilakukan umat Islam membawa keberkahan bagi negeri ini, kedamaian dan sejahtera berkeadilan. Amin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun