Sebab, pandangan dia, makin sering seseorang mendatangi pondok pesantren disertai dengan rasa ikhlas akan banyak pelajaran yang dapat dipetik. Setidaknya, ia akan memberi perhatian dan memetik pelajaran dari banyaknya anak yatim di pondok bersangkutan dididik dengan baik.
Kiai itu ketika bergerak untuk kegiatan amal saleh, atau kesalehan sosial, tidak berharap mendapat imbalan. Bahkan ada di antara para kiai menahan lapar dan menjalankan puasa seorang diri tanpa diketahui para santrinya. Ia menikmati rasa lapar seorang diri disebabkan logistik yang tersedia lebih baik diikhlaskan untuk makan para santrinya.
Sejak zaman penjajah, para kiai sudah mendedikasikan dirinya untuk umat. Meningkatkan kualitas pendidikan anak. Semampunya. Tidak seperti lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah, pengajarnya sering tidak beretika, melakukan pelecehan kepada anak didik. Atau sebaliknya, anak menjadi nakal dan melawan guru.
"Saya tidak bermakud menjelekan lembaga pendidikan pemerintah. Itu tidak semua. Banyak juga lembaga pendidikan pemerintah yang baik, perguruan tingginya makin baik. Kitab kuning pun sekarang makin mendapat tempat untuk dipelajari," KH Mutajab berceloteh.
Lembaga pendidikan seperti pondok pesantren memang boleh dijuluki sebagai hidup segan mati tidak mau. Itu disebabkan seretnya biaya. Kalaupun ada perhatian dari pemerintah, dana yang dikucurkan pun cara mengurusnya 'nyelimet'. Padahal, itu uang rakyat.
"Kan sekarang ada pepatah, kalau memang mudah kenapa tidak dibuat sulit?" Mustajab melontarkan pertanyaan kepada penulis sambil melempar tawa.
Si jurnalis ikut tertawa. Ya, mereka menertawakan keadaan fenomena kehadiran lembaga pendidikan yang hingga kini masih dipandang sebelah mata.
Termasuk peran dari pondopo perawatan orang gila, yang dikelola KH Mustajab itu. Boleh jadi Ponpes dan pondok itu masih dinilai sebagai penampung sampah masyarakat dan tidak berarti bagi sebagian kalangan petinggi di negeri ini.
***
"Seharusnya memang ada rumah sakit sebagai penampung korban Pilkada. Tapi, sayangnya, anggota keluarga takut terpublikasi. Malu?" KH Mustajab menduga-duga.
Kisah si Sumanta, pemakan bangkai manusia sudah sembuh. Ia kini pandai membaca Alquran. Berita Sumanta kembali pulih, sehat seperti dahulu, telah menarik perhatian publik. Itu diawali karena pemberitaan dari media massa.